Pria bernama Nando (25) membunuh istrinya, Mega Suryani Dewi (24), di rumah kontrakan mereka di Kampung Cikedokan, Desa Sukada, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekas. Kapolsek Cikarang Barat AKP Rusnawati mengatakan pembunuhan itu terjadi pada 7 September 2023, pukul 22.00 WIB. Namun, jenazah korban ditemukan pada Minggu (10/9) setelah ibunda Mega mencarinya di kontrakannya.
Kanit Reskrim Polsek Cikarang Barat Iptu Said Hasan mengungkapkan alasan Nando tega membunuh Mega karena sakit hati dengan perkataan Mega. Juga oleh faktor ekonomi. Kapolres Metro Bekasi Kombespol Twedi Aditya Bennyahdi mengatakan terlihat pelaku merasa menyesal, Nando masih memandikan istrinya setelah kejadian pembunuhan itu (detikNews.com, 18/9/2023). Nasi sudah menjadi bubur dan penyesalan datangnya selalu terlambat. Sang istri tak bisa lagi menjadi pendamping hidupnya, cinta berujung petaka, hilangnya nyawa seolah biasa, astaghfirullah.
Keluarga Terkurung Prahara, Sebab Penerapan KapitalismeÂ
Membina biduk rumah tangga memang tak mudah, ada saja persoalannya. Jika bukan perceraian, perselingkuhan, KDRT, perdagangan orang, pencurian hingga pembunuhan. Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Prof Dr Kamaruddin Amin mengatakan, jumlah perceraian di Indonesia ini terbilang fantastis. "Ada kenaikan angka perceraian di Indonesia, menjadi 516 ribu setiap tahun. Sementara, angka pernikahan semakin menurun, dari 2 juta menjadi 1,8 juta peristiwa nikah setiap tahun," kata dia dalam agenda Rakornas Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) 2023, di Jakarta, Kamis (21/9/2023). (Republika.id, 22/9/2023).Â
Padahal, keluarga adalah institusi terkecil dalam lingkup masyarakat yang didalamnya ada berbagai proses pembentukan pribadi-pribadi unggul. Jika keluarga rentan menghadapi berbagai hambatan, tentulah yang dihasilkan adalah generasi yang tidak berkualitas, dampak selanjutnya adalah kelemahan negara sebab disokong oleh SDM yang buruk.Â
Pemicu perceraian, selain kemiskinan ekstrem, pergaulan bebas, angka putus sekolah yang tinggi sehingga pasangan kurang ilmu, terlibat judi online atau pinjaman online, dan yang lebih memrihatinkan, yaitu penyebab tingginya angka perceraian di Aceh, menurut Kepala Kanwil Kementerian Agama atau Kakanwil Kemenag Aceh, Drs Azhari bukan karena persoalan ekonomi atau KDRT, melainkan karena si suami seorang penyuka sesama jenis atau homoseksual (tribunnews.com, 25/8/2023).Â
Jelas ini tak bisa lagi dikatakan sebagai persoalan, tapi prahara bahkan bencana. Kasusnya ada dimana-mana dan tentu melibatkan banyak pasangan dan keluarga. Artinya, ini sudah masuk dalam ranah penerapan sistem aturan yang salah, sehingga imbasnya semakin memburuknya kualitas keluarga. Negeri ini, faktanya menerapkan sistem kapitalisme, dengan asas sekuler. Yaitu meniadakan aturan agama dalam kehidupan sosial. Islam, sebagai agama mayoritas di negeri ini pun hanya sebagai simbol keyakinan, bukan way of life, atau pandangan hidup seseorang dalam berkeluarga, bermasyarakat hingga bernegara.Â
Jelas dampaknya sangatlah buruk, ibarat karena nila setitik rusak susu Sebelanga. Keluarga yang tak mendapatkan sistem support terbaik akan kalah dan hancur, sebab, kapitalisme tak pandang bulu, ia hanya konsentrasi pada siapa yang bermodal besar, dalam aspek ekonominya malah hanya mementingkan produksi, soal apakah produk tersebut bisa diakses masyarakat dengan mudah atau sulit tidak jadi soal.Â
Kapitalisme juga tak mengenal batas-batas kepemilikan, kepemilikan umum yang menjadi hak rakyat, bisa saja dimiliki oleh satu orang saja. Dengan payung kebijakan negara, maka hal itu menjadi sebuah keniscayaan. Berapa ratus keluarga di Pulau Rempang yang kehilangan hak kepemilikan pribadinya karena diklaim oleh satu perusahaan. Hanya karena memiliki modal besar. Pada akhirnya tidak tercipta pemerataan kesejahteraan, rakyat kian susah. Lebih khusus lagi, para ayah atau suami semakin kesulitan mendapatkan nafkah untuk keluarga.Â
Islam: Negara Support Sistem TerbaikÂ
Tingginya perceraian menunjukkan rapuhnya bangunan keluarga. Terlebih jika sampai pada tindak penghilangan nyawa pasangan. Ini musibah. Ada berbagai sebab yang menjadi pemicu. Hal ini juga menjadi tanda lemahnya visi keluarga saat ini yang hanya berorientasi kepada duniawi. Juga lemahnya negara sehingga tak mampu mewujudkan perlindungan terhadap anak dan kaum perempuan.Â
Keluarga muslim seharusmya memiliki visi dan misi keluarga, yang dilandaskan kepada Islam. Sebab, sebuah pernikahan diawali dengan ikrar sebuah perjanjian yang kuat ( Mitsaqan Ghalidan). Bahwa biduk rumah tangga akan diisi dengan hubungan saling melengkapi. Mengedepankan komunikasi dan amar makruf, juga terdapat hubungan pendidikan dan pengasuhan. Namun, secara fitrah fungsi keluarga yang demikian tak akan berjalan dengan baik tanpa ada dukungan dari lingkungan masyarakat yang kondusif. Terutama negara.Â
Negara dalam pandangan Islam, memilki berbagai mekanisme untuk mewujudkan lingkungan yang aman dan nyaman. Tentram dan bahagia lahir batin. Di antaranya dengan penerapan sistem ekonomi Islam. Berikutnya sistem sanksi dan hukum yang tegas dan adil, sebab mustahil rasa aman bisa tercipta jika hukum masih bisa dibeli dan ditawar. Sistem pendidikan diselenggarakan oleh negara dengan basis akidah, kurikulum disusun berdasarkan syariat yang bertujuan membentuk kepribadian Islam. Hari ini, semestinya sudah jelas arah perjuangan kita, sebab Allah dan RasulNya telah memberikan teladan kepada kita, masihkah belum muncul keyakinan itu?
Allah swt. berfirman yang artinya,"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata". (TQS al-Ahzab :36). Wallahualam bissawab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H