Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengutarakan keresahannya bahwa menjadi orang nomor satu di Indonesia tidak semudah yang dibayangkan. Ia kerap kali diremehkan dan menerima banyak cacian dari publik. Curhatan itu disampaikan sidang tahunan MPR di ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD Jakarta, Rabu 16 Agustus 2023.
"Posisi presiden itu tidak senyaman yang dipersepsikan ada tanggung jawab besar, banyak permasalahan rakyat yang harus diselesaikan," katanya. Media sosial menjadi ajang kebebasan berpendapat, siapa pun yang ingin mengutarakan isi pikirannya dapat dengan mudah memanfaatkannya. Selain itu, Jokowi tahu bahwa dirinya kerap menjadi sasaran ujaran kebencian, kemarahan rakyat, fitnah, dan caci maki. Meski begitu, ia tidak mempermasalahkan dan menerimanya (pikiranrakyat.com, 17/8/2023).Â
"Saya tahu ada yang mengatakan saya ini bodoh, plonga-plongo, ndak tahu apa-apa, tolol, Firaun. Ya tidak apa-apa sebagai pribadi saya menerima saja," ujarnya. Namun yang membuatnya sedih dan kecewa adalah adanya kebebasan berpendapat malah seperti menghilangkan kesantunan dan budi pekerti luhur yang dianut bangsa. Jokowi menilai kondisi tersebut sebagai polusi budaya yang berpengaruh terhadap moralitas bangsa.
"Kebebasan dan demokrasi digunakan untuk melampiaskan kedengkian dan fitnah," ucap Jokowi. Padahal demi menjalankan Indonesia emas 2045, masyarakat perlu dengan tegas membangkitkan kesadaran nurani bangsa untuk menjaga moralitas ruang publik dan menjaga mentalitas. Tujuannya, untuk mengubah transformasi bangsa menuju bangsa yang bermartabat.
Sistem Politik Demokrasi  Akar Persoalan
Negara adalah sebuah institusi terbesar yang fungsinya mengatur urusan rakyat secara merata dan berkualitas. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,"Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah 'Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya." [Hr. Bukhari dan Muslim].Â
Laksana perisai, maka negara adalah satu-satunya yang berkewajiban menjaga rakyatnya dari segala mara bahaya. Tak cukup menyediakan sandang, pangan dan papan yang murah dan terjangkau namun juga menjamin pendidikan, kesehatan dan keamanan, untuk rakyatnya baik miskin maupun kaya. Baik muslim maupun non muslim. Daerah perkotaan maupun pedesaan hingga pikiran.
Untuk itu secara otomatis membutuhkan seorang pemimpin yang tak hanya takwa kepada Allah SWT namun juga yang memilih hanya menjalankan syariat Islam. Pemimpin ini tak mungkin lahir dari sistem yang diterapkan hari ini. Terlebih dengan mengusung tujuan negara adalah untuk mengubah transformasi bangsa menuju bangsa yang bermartabat.
Tujuan itu tak akan tercapai selama tata aturan yang diterapkan sekular. Kapitalis dan demokrasi dasarnya adalah pemisahan agama dari kehidupan, dimana seseorang boleh memiliki kehendak pribadi seperti beragama, namun diranah sosial agama apapun tak berlaku. Hal ini berakibat fatal, apalagi jika bukan kesedihan bahkan azab akan menimpa siapa saja yang mengiyakan dirinya sebagai tuhan tandingan . Mengeluarkan akidah kaum muslim adalah salah satu cara menghilangkan pengaruhnya. Dan bebas menjajah negeri yang kaya Sumber Daya Alam (SDA).Â
Islam menjawab tantangan ketidak adilan hari ini, terlebih teladan para pemimpin dalam Islam sudah sangatlah mashyur. Sebut saja Ali bin Abi Thalib, Sa'ad Bin Wakash, Abdurahman bin Auf, Thariq bin Ziyad, Â mereka jelas tak lahir biasa-biasanya, melainkan terus menerus ditempa dengan belajar Islam, membersihkan akidah yang bercampur dengan jahiliyah dan lainnya. Sehingga lahirlah sosok baru yang memiliki visi misi akhirat. Pola sikap dan pola pikirnya sangatlah khas.Â
Sangat berbeda dengan output pendidikan hari ini, masih hangat peristiwa pengusiran mahasiswa KKN di NTT dan Padang karena mereka tak bijak bersosmed, bagaimana beringasnya pelajar hari ini, sekadar beda pendapat sudah berani membunuh dan lainnya. Pemimpin adalah teladan, bagaimana pula jika perayaan kemerdekaan di Istana di isi dengan joget " Rungkat" seolah mengajak rakyat untuk bersenang-senang menikmati kemerdekaan semu. Ya, kita belum merdeka. Faktanya rakyat sesungguhnya masih merasakan " Rungkat" alias ruwet gak keangkat ( susah hidup gak bisa diangkat, Jawa : penulis), sampai entek-entekan (habis-habisan) hingga SDA diangkat oleh penjajahan gaya baru.Â
Saatnya kembali pada upaya mewujudkan kepribadian Islam. Umar bin Khatab pernah berkata kepada Abu Ubaidah, " "wahai saudaraku, sungguh kita pernah terhinakan hingga Allh memuliakan kita dengan Islam. Kalau kita mencari kemuliaan selain Islam maka Allah akan menghinakan kita kembali". Segala penghinaan, pelecehan dan lain sebagainya akan lenyap, berganti dengan suasana keimanan yang sangat, sebab pemimpinnya menegakkan syariat. Wallahu a'
lam bish showab.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H