Kebutuhan pokok manusia yang terutama adalah sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Namun kesenjangan antara jumlah penduduk dengan ketersediaan papan sangatlah tajam. Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah backlog ( kebutuhan jumlah perumahan) yang tinggi yaitu sebesar 27.369 KK pada tahun 2019 (ertlh.perumahan.go.id, 16/7/2019).
Tingginya angka backlog perumahan terjadi karena beberapa faktor, diantanya besarnya pertumbuhan jumlah penduduk, ketidakterjangkauan harga perumahan oleh masyarakat, swaswa tidak mau berinvestasi untuk penyediaan perumahan MBR karena harga lahan tinggi dan lain-lain. Belum lagi kalau distandarkan pada kebutuhan perumahan layak huni, angkanya akan semakin tinggi namun lagi-lagi pemerintah mengalami kesulitan.Â
Alih-alih memikirkan solusi agar setiap individu rakyat mendapatkan hunian yang layak, salah seorang pimpinan DPRD kota Surabaya, menyayangkan adanya sejumlah ASN Pemkot Surabaya yang tinggal di Rusunawa ( Rumah Susun Sewa Sederhana). Hingga ia meminta kepada pemerintah kota setempat untuk melakukan pendataan, agar Rusunawa kembali kepada fungsi asalnya yaitu bagi MBR ( Masyarakat Berpenghasilan Rendah). " Tahu dirilah, apalagi jika melihat ledakan warga MBR Surabaya", demikian katanya.Â
Menurutnya, ASN juga memiliki gaji dan tunjangan di atas upah minimum kota (UMK). Bahkan, lanjut dia, pendapatan ASN Pemkot Surabaya itu terkenal tinggi, sehingga sudah semestinya mereka mencari tempat tinggal lain di luar rusunawa, karena rusunawa itu peruntukannya untuk warga MBR. Kalau para ASN ini keluar dari rusunawa, maka rusunawa itu bisa diisi MBR, sehingga antreannya yang tembus 11 ribu itu bisa berkurang dan mereka punya tempat tinggal layak.Â
Sungguh bukan solusi dan bukan tipe penguasa yang bijak, yang lemah lembut kepada rakyat yang dia wakili. Apakah dengan upah yang sesuai UMK sudah menjamin si ASN sejahtera? Sandang, pangan dan papannya mudah dia akses kapanpun dia mau?Â
Mungkin perlu sekali ia turun ke bawah, dan melihat secara langsung potret ASN hari ini, meskipun gaji terbilang tinggi, namun tak semua bisa ia penuhi, sebab kebutuhan pokok harganya melambung, demikian pula biaya kebutuhan umum lainnya seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. Semua tak ada yang gratis dan harganya tak pernah turun. Selalu alasannya subsidi yang tak tepat sasaran, rakyat harus mandiri tak tergantung kepada pemerintah dan lain sebagainya.Â
Inilah beratnya menjalani hidup dalam sistem yang samasekali tak manusiawi, siapa cepat dia dapat, siapa kuat ia jadi pemenang. Padahal hidup ini bukan perlombaan, dan tak ada hadiah bagi siapapun yang mencapai garis finish lebih dahulu. Yang ada rakyat babak belur, sebab pemerintah fix memosisikan diri bukan sebagai periayah namun regulator kebijakan sejati. Yang hanya menghubungkan investor satu dengan SDA yang ada dan menego mereka agar mau berinvest di Indonesia, sedang negara hanya menikmati royalti yang tak seberapa, dan menjadikan rakyatnya sapi perah untuk bayar pajak dan utang luar negeri.Â
Inilah kapitalisme, aturan yang sedang dijalankan penguasa, yang sebenarnya sudah kelimpungan menerima kegagalan akibat sistem aturannya hancur. Tak mampu mewujudkan kesejahteraan hakiki. Tak hanya masalah perumahan, tapi juga lainnya, pangan, dengan harga kebutuhan pokok yang makin melambung, sementara barang langka di pasaran. Kebijakan yang diambil kalau tidak impor, dengan alasan menyeimbangkan harga, ya menetapkan HET ( Harga Eceran Tertinggi) . Padahal inilah yang mengantar kepada krisis ekonomi.
Masalah sandang pun demikian ,alih-alih dengan menciptakan pasar halal dan menyejajarkan diri menjadi negara pusat fashion halal. Nyatanya itu hanyalah rayuan untuk para investor agar terus mengeksplore kekayaan alam dan memberdayakan UKM di Indonesia, ujung-ujungnya yang mendapat keuntungan adalah UMKM yang sudah mendapatkan "restu" dari korporasi kelas kakap.Â
Sejatinya, masalah perumahan layak huni tak harus rakyat terutama kepala keluarga kerepotan mendapatkannya. Sebab mereka berhak hidup layak. Dalam negara berdasarkan syariat hal ini tak akan terjadi. Sebab seorang pemimpin akan benar-benar memikirkan bagaimana agar akses rakyat terhadap kebutuhan pokok itu mudah. Ia sangatlah takut kelak di akhirat Allah SWT menghitung amal ketika berada di akhirat.Â