Sungguh, gonjang-ganjing urusan kepegawaian di negeri ini tak pernah selesai. Jika buruh perkara penetapan UMR (Upah Minimum Regional) jika ASN (Aparatur Sipil Negara) perkara status honorer atau outsourching.Â
Pemerintah berkelit hal ini berkaitan dengan transformasi digital yang dilakukan Pemerintah untuk memberlakukan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) di seluruh instansi pemerintah. Maka, keputusan tak lagi merekrut tenaga honorer diberlakukan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN RB) Tjahjo Kumolo di setiap kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L) dan pemerintah daerah (pemda).Â
Tjahjo beralasan karena rekrutmen tenaga honorer akan merusak penghitungan kebutuhan formasi aparatur sipil negara (ASN)." Adanya rekrutmen tenaga honorer yang terus dilakukan tentu akan mengacaukan hitungan kebutuhan formasi ASN di instansi pemerintah, hal ini juga yang membuat permasalahan tenaga honorer menjadi tidak berkesudahan hingga saat ini." (kompas.tv, 23/1/2022).
Tjahjopun menambahkan akan ada sanksi bagi instansi pemerintah yang masih merekrut tenaga honorer, baik di Kementerian atau Lembaga maupun Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sebab dalam Pasal 8 PP Nomor 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sudah secara jelas dilarang untuk merekrut tenaga honorer. Hal ini juga termaktub dalam Pasal 96 PP Nomor 49/2018 tentang Manajemen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).Â
Namun berbeda dengan pusat, Wali Kota Salatiga Yuliyanto menegaskan Pemerintah Kota Salatiga akan mempertahankan tenaga harian lepas (THL), sebab keberadaan mereka masih dibutuhkan. Juga karena mereka sudah lama bekerja di pemerintahan Kota Salatiga dan menjadi tulang punggung keluarga (kompas.com,19/1/2022).Â
Sementara Sekretaris Daerah Kota Salatiga Wuri Pudjiastuti tengah melakukan koordinasi dengan Kemendagri terkait status THL. Artinya masih akan ada banyak kemungkinan yang akan diterima oleh tenaga honorer di lingkungan pemerintah Kota Salatiga.Â
Tahun 2020 tercatat sebanyak 438.590 pegawai masih menyandang status honorer. Dari jumlah tersebut ada 157.210 atau 35,84 persen berprofesi sebagai guru. Di tahun 2021, guru honorer sebanyak 742.459 atau 36% ( beritasatu.com, 16/10/2021). Sungguh bukan berita yang bagus, setiap tahunnya ternyata ada penambahan dan itu terkait tenaga honorer guru. Bukankah ini salah satu profesi yang paling dibutuhkan negeri ini saat ini?Â
Pemerintah tetap bersikukuh dengan memberikan kesempatan bagi seluruh instansi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah untuk menyelesaikan status tenaga honorer hingga 2023. Sementara terkait pemenuhan kebutuhan tenaga kebersihan, tenaga keamanan dan pramusaji, hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan tenaga alih daya dari pihak ketiga atau outsourcing.
Pengangguran adalah salah satu dampak sulitnya rakyat mengakses pekerjaan yang layak. ASN masih menjadi primadona bagi para pencari kerja, sehingga meskipun hari ini seleksinya susah dan bermacam-macam tetap tak melunturkan mindset ASN hidup akan lebih baik, sejahtera dan terjamin. Peminatnya membludak, lantas dengan adanya kebijakan penghapusan tenaga honorer tidak akan berpeluang menambah jumlah pengangguran?
Jika melihat pada fakta di atas, sangatlah kentara bagaimana pemerintah memomosikan dirinya hanya sebagai regulator kebijakan. Padahal seharusnya negaralah yang bertanggung jawab penuh terhadap pelayanan sebagaimana sabda Rasulullah ,"Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)." (HR. Imam Al Bukhari dan Imam Ahmad).Â