Mohon tunggu...
Rut Sri Wahyuningsih
Rut Sri Wahyuningsih Mohon Tunggu... Penulis - Editor. Redpel Lensamedianews. Admin Fanpage Muslimahtimes

Belajar sepanjang hayat. Kesempurnaan hanya milik Allah swt

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Prototipe, Nihilnya Jaminan Pendidikan Berkualitas

11 Januari 2022   22:39 Diperbarui: 11 Januari 2022   22:45 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: desain pribadi

Akibat pandemi kualitas dan akses belajar mengalami kesenjangan dengan dunia barat. Maka Kemendikbud Ristek mengeluarkan kebijakan baru yaitu kurikulum prototipe. Kebijakan ini ditawarkan sebagai  pilihan bagi sekolah dalam mengatasi kehilangan pembelajaran atau learning loss dan mengakselerasi transformasi pendidikan nasional.

Meski banyak yang menyangsikan manfaat dan efektifitas kebijakan baru ini ternyata juga tak sedikit yang pro. Misalnya komisi X DPR. Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, menyatakan kurikulum ini sebagai bentuk adaptasi dan inovasi Yanga dapat digunakan untuk bertahan sesuai perkembangan zaman.

Kedua merupakan langkah pembaharuan. Ini adalah bagian dari risiko langkah terobosan yang harus cepat-cepat kita ambil jika tidak, kita akan tertinggal. Ketiga. kurikulum 2013 terlalu banyak konten dan muatannya, sehingga tidak bisa  memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mendalami sesuatu dari kecenderungan bakat mereka. Padahal kita sedang menciptakan generasi yang kompeten.

Keempat, dengan kurikulum prototipe, dimungkinkan ruang improvisasi guru diperlebar sehingga guru dapat mengakselerasi dan mencari model terbaik dalam pembelajaran, karena akan ada pengurangan konten, supaya anak-anak lebih memahami tentang suatu hal lebih detil. 

Kelima, kurikulum ini bersifat opsional atau tidak wajib. Kalau ada sekolah yang memilih opsi kurikulum prototipe ini, Syaiful Huda meminta ada skema intervensi yang disiapkan untuk mengimplementasikannya, terutama karena ini akan berdampak pada anggaran dan sarpras.

Kurikulum prototipe ditawarkan Kemendikbud Ristek sebagai pilihan bagi sekolah dalam mengatasi kehilangan pembelajaran atau learning loss dan mengakselerasi transformasi pendidikan nasional. Dimana kurikulum ini memuat lebih sedikit materi, dilengkapi dengan perangkat yang memudahkan guru melakukan diferensiasi pembelajaran.

Misalnya, Kemendikbudristek akan menyediakan alat asesmen diagnostik untuk literasi membaca dan matematika. Kemendikbudristek juga akan membekali guru dengan beragam contoh modul yang bisa diadopsi atau diadaptasi sesuai konteks. Apakah tidak  dipertimbangkan kesenjangan kemampuan sekolah dan tenaga kependidkan di semua wilayah Indonesia?

Meskipun telah dilakukan sosialisasi oleh pihak terkait di kawasan pinggiran Asahan, Sumatera dan Nusa Tenggara, dan hasilnya menunjukkan positip bahwa tak ada alasan kebijakan ini dihentikan hanya karena sekolah pinggiran dengan prasarana minim. Namun tetap tak bisa dijadikan acuan, sebab sample hanya mewakili sebagian kecil saja.

Justru kurikulum ini bisa memperburuk kesenjangan dan menunjukkan lepasnya negara dari penjaminan mutu Pendidikan. Kita tahu, sebelum terjadinya pandemi kualitas pendidikan kita sudah buruk. Hingga Menko Marves RI, Luhut B. Pandjaitan, mengambil kebijakan "ambil" tenaga kerja asing dari Cina karena SDM kita kualitasnya buruk.

Ketika kebijakan pemerataan pendidikan yang diambil adalah zonasi, kemudian diklaim sukses bahkan hingga dilanjutkan pada tahun berikutnya, sebetulnya fakta di lapangan berlaku sebaliknya, karena zonasi tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas sarpras. 

Giliran wilayah yang yang hanya memiliki gedung sekolah bobrok, bahkan negeripun tak ada harus puas dengan keadaan itu. Wajar jika kemudian muncul aksi suap, bayar bangku dan lainnya. Karena siapa orangtua yang mau anaknya sekolah dengan kualitas seadanya? Bahkan tak layak?

Kemudian diklaim bahwa ada jalur khusus bagi mereka yang tak mampu dengan mengajukan surat tak mampu, nyatanya yang bisa memanfaatkan itu adalah mereka yang punya koneksi dengan penguasa, baik kepala desa atau camat. Sehingga yang benar-benar berhak tak bisa memanfaatkan. Artinya kebijakan ini gagal, karena kurang berperannya negara dalam menjamin terlaksananya kewajiban belajar ini individu per individu.

Terlebih pada poin terakhir yang disetujui oleh DPR bahwa kebijakan ini pilihan, kesannya tidak ada paksaan. Baiklah itu? Tentu tidak! Sebab UUD 1945 jelas-jelas menyebutkan jaminan pendidikan diselenggarakan oleh negara, maka jika ada kebijakan apapun bukan jadi pilihan, melainkan terapkan secara maksimal, merata dan adil.

Pendidikan adalah salah satu kebutuhan pokok rakyat yang harus dipenuhi negara, sebab, dari pendidikan inilah akan teroutput generasi berkualitas, bertakwa dan penerus peradaban mulia. Jika untuk mempersiapkannya lalai, akankah kita bisa berharap masa depan yang baik? Tentu tidak!

Rasulullah bersabda," "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR al-Bukhari). Dengan pemimpin yang menerapkan syariat saja kita akan dapati sosok yang riil menjadi pelayan , pengurus dan penanggungjawab urusan rakyat. Tidak melayani kepentingan oligarki, investor ataupun pihak kafir barat. Sebab ia sadar, amanah jabatan yang ada padanya bukan permainan, namun wasilah ia akan berakhir di neraka atau surga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun