Akibat pandemi kualitas dan akses belajar mengalami kesenjangan dengan dunia barat. Maka Kemendikbud Ristek mengeluarkan kebijakan baru yaitu kurikulum prototipe. Kebijakan ini ditawarkan sebagai  pilihan bagi sekolah dalam mengatasi kehilangan pembelajaran atau learning loss dan mengakselerasi transformasi pendidikan nasional.
Meski banyak yang menyangsikan manfaat dan efektifitas kebijakan baru ini ternyata juga tak sedikit yang pro. Misalnya komisi X DPR. Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, menyatakan kurikulum ini sebagai bentuk adaptasi dan inovasi Yanga dapat digunakan untuk bertahan sesuai perkembangan zaman.
Kedua merupakan langkah pembaharuan. Ini adalah bagian dari risiko langkah terobosan yang harus cepat-cepat kita ambil jika tidak, kita akan tertinggal. Ketiga. kurikulum 2013 terlalu banyak konten dan muatannya, sehingga tidak bisa  memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mendalami sesuatu dari kecenderungan bakat mereka. Padahal kita sedang menciptakan generasi yang kompeten.
Keempat, dengan kurikulum prototipe, dimungkinkan ruang improvisasi guru diperlebar sehingga guru dapat mengakselerasi dan mencari model terbaik dalam pembelajaran, karena akan ada pengurangan konten, supaya anak-anak lebih memahami tentang suatu hal lebih detil.Â
Kelima, kurikulum ini bersifat opsional atau tidak wajib. Kalau ada sekolah yang memilih opsi kurikulum prototipe ini, Syaiful Huda meminta ada skema intervensi yang disiapkan untuk mengimplementasikannya, terutama karena ini akan berdampak pada anggaran dan sarpras.
Kurikulum prototipe ditawarkan Kemendikbud Ristek sebagai pilihan bagi sekolah dalam mengatasi kehilangan pembelajaran atau learning loss dan mengakselerasi transformasi pendidikan nasional. Dimana kurikulum ini memuat lebih sedikit materi, dilengkapi dengan perangkat yang memudahkan guru melakukan diferensiasi pembelajaran.
Misalnya, Kemendikbudristek akan menyediakan alat asesmen diagnostik untuk literasi membaca dan matematika. Kemendikbudristek juga akan membekali guru dengan beragam contoh modul yang bisa diadopsi atau diadaptasi sesuai konteks. Apakah tidak  dipertimbangkan kesenjangan kemampuan sekolah dan tenaga kependidkan di semua wilayah Indonesia?
Meskipun telah dilakukan sosialisasi oleh pihak terkait di kawasan pinggiran Asahan, Sumatera dan Nusa Tenggara, dan hasilnya menunjukkan positip bahwa tak ada alasan kebijakan ini dihentikan hanya karena sekolah pinggiran dengan prasarana minim. Namun tetap tak bisa dijadikan acuan, sebab sample hanya mewakili sebagian kecil saja.
Justru kurikulum ini bisa memperburuk kesenjangan dan menunjukkan lepasnya negara dari penjaminan mutu Pendidikan. Kita tahu, sebelum terjadinya pandemi kualitas pendidikan kita sudah buruk. Hingga Menko Marves RI, Luhut B. Pandjaitan, mengambil kebijakan "ambil" tenaga kerja asing dari Cina karena SDM kita kualitasnya buruk.
Ketika kebijakan pemerataan pendidikan yang diambil adalah zonasi, kemudian diklaim sukses bahkan hingga dilanjutkan pada tahun berikutnya, sebetulnya fakta di lapangan berlaku sebaliknya, karena zonasi tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas sarpras.Â