Badan Pusat Statistik (BPS) merilis indeks kebahagiaan 2021. Survei ini dilaksanakan setiap tiga tahun sekali. Survei pengukuran tingkat kebahagiaan (SPTK) ini terdiri dari tiga dimensi, yakni kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia).Â
Survei dilaksanakan serentak di semua kabupaten/kota di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Dengan unit analisis rumah tangga yang dipilih secara acak (random) dan tidak semua anggota rumah tangga dapat dipilih sebagai responden karena ada beberapa pertanyaan (misalnya, pertanyaan terkait pekerjaan, pendapatan rumah tangga, dan keharmonisan keluarga) yang hanya dapat dijawab secara akurat oleh kepala rumah tangga atau pasangannya.Â
Hasilnya, indeks kebahagiaan Indonesia pada 2021 berada pada angka 71,49. Angka itu naik 0,80 dibanding pada 2017. Penduduk perkotaan memiliki nilai indeks kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pedesaan, yakni perkotaan 71,73 dan pedesaan 71,17. BPS menyatakan provinsi dengan indeks kebahagiaan tertinggi ialah Maluku Utara dengan poin 76,34, sementara yang terendah adalah Banten dengan skor 68,08.
Apa sih tujuan dari survei indeks Kebahagiaan ini? Tentu untuk bahan evaluasi seberapa berhasil pembangunan dan pelayanan pemerintah terhadap rakyatnya. Tingkat kebahagiaan biasanya berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan.Â
Lantas, apakah indeks kebahagiaan ini bisa dijadikan patokan bahwa benar hari ini, tahun ini kota-kota dan desa-desa yang disebutkan di hasil survey itu benar-benar bahagia? Padahal faktanya hari ini angka pembunuhan, prostitusi, peredaran narkoba, penghilangan nyawa, tingginya penggangguran, tingginya angka kriminalitas, aborsi, seks bebas, stunting, desa atau kota yang terendam banjir dan lain sebagainya tak pernah turun. Baik pelaku, korban maupun motif kejadiannya makin beragam.Â
Belum lagi dengan tren doll spirit, penerawangan ahli akan masa depan, dan semua yang berbau klenik juga turut mewarnai perilaku dan cara pandang masyarakat terkait kebahagiaan. Dunia astral diikutkan bahkan dijadikan sandaran perubahan oleh sebagian orang. Semisal makin rajin shalat Dan sedekah setelah pelihara boneka arwah.Â
Dari pergeseran akidah yang makin di boomingkan entah itu berita pindah agama artis, perayaan hari raya agama lain yang disangkut-sangkutkan dengan toleransi dan moderasi tak bisa dipungkiri turut menyumbang gilanya masyarakat. Arti bahagia jadi hilang makna, sebab setiap orang berbeda pula dalam memperjuangkannya.Â
Tidak ada yang salah soal indeks Kebahagiaan, tapi jika data di lapangan dengan hasil survei yang random kemudian dijadikan patokan akan sangat berbahaya. Karena membelokkan umat dari perjuangan kebahagiaan yang hakiki. Bahkan datanya hanya mewakili sekian persen dari penduduk Indonesia, lantas, apakah rumahtangga atau keluarga yang tidak masuk data tak berhak berbahagia?
Boleh dibilang sodoran indeks Kebahagiaan ini hanyalah pelipur lara, sakit dan penderitaannya sendiri belum dan bahkan tak tersentuh. Mari kita gali lebih dalam, Ada tiga dimensi yang menjadi standar yakni kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia).Â
Kepuasaan hidup ( life satisfaction) menurut dictio.id adalah adalah kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalamannya yang disertai dengan tingkat kegembiraan. Selain itu, tingkat keberhasilan individu ketika memecahkan masalah penting dalam kehidupannya juga mempengaruhi kebahagiaan dan menentukan kepuasan hidup individu tersebut.
Dengan kata lain, ketika seseorang mendapati persoalan maka dengan mudah mereka mendapatkan solusinya. Tentu dengan kedewasaan berpikir dan kemudahan fasilitas yang disediakan oleh negara misalnya ketika dia hendak memenuhi kebutuhannya. Lantas bagaimana dengan kasus bunuh diri yang semakin marak, tak di kota tak di desa, dari mulai persoalan tak lulus ujian, dimarah orang tua, sakit menahun, lama menganggur hingga percintaan bahkan sesepele kalah main game sudah membuat orang tak sayang nyawa sendiri.Â
Dari persoalan receh hingga berat, ujungnya membuat seseorang mudah putus asa dan mengakhiri hidupnya. Dalam Islam jelas ini bukan persoalan sepele, satu nyawa terutama jika dia Muslim lebih berharga dari dunia dan seisinya. Terlebih bunuh diri adalah perbuatan haram, yang dilaknat Allah hingga di akhirat kelak.Â
Hilangnya rasa takut kepada Allah dan hari akhir, menunjukkan betapa lemahnya akidah umat ini. Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, mengapa pengharapannya kepada Allah mudah pudar? Allah mensifati sebagai umat terbaik, mungkinkan manusia lemah begitu saja? Tentu tidak jika negara mendukung dan memberikan pelayanan sepenuh hati.Â
Beban rakyat bertumpuk-tumpuk belum terurai, sementara pejabatnya hanya memberikan janji kosong dan pelayanan asal-asalan. Semestinya tahun baru ini jadi ajang muhasabah, sudahkah ada perbaikan? Akankah tahun ini tetap Islam yang menjadi kambing hitam penderitaan rakyat?
Untuk dimensi kedua dan ketiga, yaitu perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia) ia mengikuti dimensi pertama. Jika kepuasaan hidup sudah tidak terwujud dalam kehidupan nyata yang tak masuk data, bisa ditebak dengan mudah pula bagaimana riilnya perasaan dan makna hidup. Hari ini yang ada adalah gaya hidup liberalisme yang mengagungkan kebebasan mutlak bagi setiap individu. Dan bukan berasal dari Islam, bahkan ide ini tertolak.Â
Perasaan yang bebas tanpa batas, justru menimbulkan sikap egoisme yang tinggi, bertentangan dengan Islam yang memerintahkan dakwah, saling menasehati dalam kebenaran, sehingga perasaan yang muncul dari sebuah kasus akan sama, cara memikirkan solusinya pun sama.Â
Jika perasaan yang muncul sudah bukan berdasar akidah Islam, otomatis akan berpengaruh dalam memaknai hidup. Elu elu gua gua, agama urusan gua, mabok zina urusan elu, jangan sok nasehatin orang, belajar agama biasa-biasa aja, sok suci lo, emang yakin elu masuk surga dan sebagainya adalah kumpulan kalimat yang melagisasi egoisnya seseorang dari pengaturan agama.Â
Maka, halal haram tak lagi dipusingkan, yang penting bahagia. Bahagia yang semu, sebab hanya bisa dirasakan sesaat, begitu ada guncangan kesulitan yang lebih besar patah lagi. Bisa dibayangkan keluarga yang bagaimana yang diambil datanya ini? Sebab hampir semua pasangan dan keluarga hari ini menjadi korban dari sistem kapitalisme dan liberalisme.Â
Suasana keimanan hampir-hampir tak ada, padahal pondasi keluarga yang baik hanyalah iman. Tak kurang keluarga yang kaya raya, segala bisa dibeli tapi tak bahagia bahkan menjadi sarang depresi. Demikian yang tak kaya, tak kalah sulit, jika mereka melakukan kriminal karena lapar, hukum sudah tajam mengoyak jantungnya.Â
Allah berfirman yang artinya,"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl: 97)
Hanya dengan Islam, kebahagiaan itu terwujud. Tak perlu lagi indeks Kebahagiaan dengan sample random, sebab setiap individu dijamin kebahagiaannya oleh negara. Dari kebutuhan ekonomi, pendidikan, keamanan, kesehatan, sandang, pangan dan papan. Bukan bak hari kebalikan sebagaimana di kota Bikini Bottom, dimana Spons Bob melakukan hari kebalikan. Mengingkari kebenaran dengan kebodohan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H