Roehana Koeddoes, beliau tercatat sebagai wartawati pertama Indonesia.Â
Hari ini Google Doodle memasang wajah seorang wanita dengan dandanan khas Sumatera. Ternyata beliau adalahPada 1911, Ruhana mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia di Koto Gadang. Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, Ruhana menulis di surat kabar perempuan, Poetri Hindia. Wikipedia
Wanita dengan nama asli Siti Roehana , kelahiran Koto Gadang, 20 Desember 1884, meninggal tanggal 17 Agustus 1972 di Jakarta. Lahir dari ayah bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibu bernama Kiam. Beliau bersaudara kandung dengan Sutan Syahrir, perdana menteri Indonesia menjabat dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947.Â
Sebagai jurnalis perempuan pertama Indonesia , Roehana dianggap menjadi simbol kesetaraan gender dan kebebasan berekspresi. Karena prestasi Roehana yang luar biasa, Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Roehana Koeddoes pada 8 November 2019.
Dari kecintaannya membaca hingga memberikan inspirasi untuk mendirikan sekolah. Di sekolah itu Roehana memberdayakan perempuan sekitar dengan mengajarkan banyak hal, mulai dari membaca literatur Arab hingga tata krama. Tak berhenti sampai di situ, Roehana juga mendirikan surat kabar pertama khusus perempuan Soenting Melajoe pada 1912.
Sebagai yang pertama di Indonesia, surat kabar ini secara langsung menginspirasi perkembangan beberapa surat kabar perempuan lainnya (kompas.com,8 November 2021). Karena keprihatinannya dengan nasib perempuan pada masanya, membuat Soetan Maharadja, pemimpin redaksi surat kabar Utusan Melayu bersimpati.Â
Keduanya lalu bertemu dan sepakat mendirikan surat kabar khusus perempuan pertama di Sumatera Barat, yaitu Soenting Melajoe yang bermakna "Perempuan Melayu", pada 1912. Bersama sang suami, Roehana semakin bersemangat untuk mendidik, terutama para perempuan di Koto Gadang.
Bersama suaminya, seorang aktivis pergerakan yang juga notaris dan penulis, Abdoel Koeddoes Roehana mendirikan sekolah Kerajinan Amal Setia (KAS) pada 11 Februari 1911.Â
Sekolah tersebut ditujukan untuk anak-anak perempuan dan akan dididik dengan sejumlah pengajaran berupa kerajinan tangan, tulis baca huruf Arab dan Latin, pendidikan rohani dan keterampilan rumah tangga.
Mungkin ajal telah memutus kiprahnya di dunia dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan. Namun jejaknya tak mungkin hilang begitu saja, semoga Allah menempatkannya di tempat terbaik. Dan membalas setiap jerih payahnya dengan pahala jariyah yang tak berbatas.Â
Mungkin memang tak setenar RA Kartini, Mahalayati, Dewi Sartika, Cut Nya Dien dan lainnya, namun upayanya tak bisa dianggap sebelah mata dalam membela kepentingan perempuan. Sejak kita tak memiliki junnah, Khilafah Islamiyyah, nasib wanita memang bak diujung tanduk. Selalu menjadi obyek kapitalisme.Â
Dan bila kita menggali lebih dalam jabatan jurnalis sebenarnya tersemat dalam setiap pribadi manusia. Sebagaimana firman Allah swt yang artinya "Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (Q.S. Luqman [31]: 17).
Nabi Muhammad Saw juga bersabda: "Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat ...." (H.R. Tirmidzi). Artinya, dakwah atau menyampaikan sesuatu sebagaimana jurnalis adalah kewajiban yang tak akan gugur dari orang perorang sebelum dikerjakan. Terutama menyampaikan kebenaran berdasarkan Alquran dan As Sunnah.Â
Perkataan apa yang paling utama bagi setiap Muslim? Rasulullah Saw bersabda, "Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim." (HR Abu Daud).Â
Keadaan kaum Muslim yang kian terpuruk seperti hari ini hingga memberikan penderitaan yang tak kunjung habis bagi perempuan karena penguasa kita tak menerapkan perintah dan larangan Allah dalam segala aspek.Â
Para penguasa yang seharusnya melindungi kaum perempuan justru berkolaborasi dengan sistem sekuler, memecah belah keluarga, memaksa perempuan berdaya di luar dan meninggalkan kewajibannya yang utama, yaitu anak dan keluarganya.Â
Meski kini pendidikan sudah terbuka bagi perempuan, namun tetap perempuan tidak dihargai berdasar intelektualnya. Banyak posisi pekerjaan yang justru mengeksplore kecantikan dan kemolekan tubuhnya.Â
Inilah yang menjadi semangat kita hari ini, yaitu menggambarkan kepada setiap orang, terutama Muslim akan indahnya Islam dan kemuliaan yang menjadi jaminannya jika kita menerapkan dalam kehidupan kita, semuanya, bukan perkara ibadah saja, namun ekonomi, sosial, pendidikan , pemerintahan, pengelolaan kekayaan alam dan lainnya.Â
Maka benarlah perkataan Ustaz Ismail Yusanto, bahwa cara mendakwahkan itu semua hanya ada dua, jika tidak ngomong ya nulis, kalau tidak nulis ya ngomong, jangan tidak dua-duanya. Hendaklah ubah kemungkaran dengan segala daya upaya yang kita miliki.Â
Kita mulia dengan Islam, dan hancur dengan selainnya, maka, mengapa masih punya alasan untuk tidak memperuncing pena kita dan menulis sebanyak yang kita bisa guna mengkounter narasi buruk para munafik pembenci Islam?Â
Terlebih dengan kemajuan teknologi, makin memudahkan kita menorehkan untaian kata, sebagai bentuk warisan dunia akhirat. Wallahu a'lam bish showab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H