Mohon tunggu...
Rut Sri Wahyuningsih
Rut Sri Wahyuningsih Mohon Tunggu... Penulis - Editor. Redpel Lensamedianews. Admin Fanpage Muslimahtimes

Belajar sepanjang hayat. Kesempurnaan hanya milik Allah swt

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pindah Agama bak Bedol Desa, Tren atau Kemunduran?

31 Oktober 2021   17:18 Diperbarui: 31 Oktober 2021   17:20 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 1980-an, bedol desa istilah yang paling sering muncul di televisi, karena pada saat itu masih tren program pemerintah untuk transmigrasi, secara bertahap dan dalam jumlah yang besar, bahkan satu desa (bedol=cabut desa), penduduk di Pulau Jawa dipindahkan ke pulau-pulau besar di Nusantara ini seperti Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. 

Program itu dalam rangka pemerataan kesejahteraan sebab tanah Jawa sudah terlalu penuh penghuninya sehingga tidak sebanding dengan bahan makanan. Sosialis banget, pahamnya baru sekarang. 

Kini, di media sosial juga bak bedol desa atau bak jamur yang tumbuh di musim hujan, setiap hari berita pindah agama, artis yang pindah agama, artis yang beda agama dengan keluarganya, artis yang menikah beda agama dan yang lainnya, namun minim penjelasan dari ulama atau publik figur lainnya yang menjelaskan tentang fenomena itu. 

Benar atau salah, atau sebetulnya sudah banyak yang mengulas itu, tapi tidak ditayangkan atau tidak disoundingkan setiap hari, sehingga masyarakat bingung, masa bodoh bahkan menganggap berita itu sebagai sesuatu yang biasa. Astaghfirullah.

Kecanggihan teknologi dan menjamurnya media sosial serta kemudahan mengaksesnya ternyata berdampak lain terhadap makna kebenaran dari penyajian informasi. Kabar bohong , tanpa hujjah yang kuat, sekedar memenuhi konten, nir manfaat yang menyebar melalui media sosial dengan mudah teramplifikasi menciptakan polarisasi dalam masyarakat.

Algoritma media sosial pun makin membuat para pengguna medsos hanya akan menerima informasi yang sesuai dengan preferensinya. Inilah yang disebut sebagai efek "echo chamber", dimana media sosial seolah menjadi ruang tertutup yang hanya memantulkan gema atau pandangan yang telah dipilih oleh para penggunanya.

Lebih jauh, pengguna media sosial juga cenderung lebih mempercayai informasi yang nota bene disebarluaskan oleh teman dekat atau kelompoknya. Alhasil, meskipun sebenarnya hoaks, informasi bohong akan tetap menyebar melalui ruang-ruang privat media sosial. 

Kondisi ini memunculkan apa yang disebut sebagai efek "filter bubble", dimana para pengguna media sosial cenderung hidup dalam gelembung keyakinannya sendiri. Akibatnya, terjadilah polarisasi masyarakat dalam realitas media sosial.

Akibat paling fatal penyebaran narasi kebohongan melalui media sosial adalah kabur bahkan hilang batas antara kebenaran dan kebohongan. Akal sehat tidak lagi digunakan. 

Daya kritis terhadap informasi menghilang. Yang mengemuka adalah semata opini, emosi dan keyakinan pribadi. Pengguna media sosial tidak bisa lagi membedakan antara fakta atau opini, data atau gosip, kebenaran atau fitnah.

Hingga Jozef Goebbels, Menteri Propaganda pada era Nazi Jerman, menyarankan taktik propaganda perang menggunakan kabar bohong. "Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran," katanya dengan sangat yakin. 

Maka, urusan berpindah agama di atas bukan menjadi urusan yang memprihatinkan lagi, biasa saja. Sama seperti berita si A selingkuh dengan si B, C korupsi, si D membunuh istri atau anaknya, Tante E cantik dan seksi dan lainnya. Padahal ini fatal! Dimana peran negara harus tegas menyelesaikan fenomena ini dan bukan sekedar mendiamkan beredar di media berhari-hari. 

Dalam pandangan Islam, berpindah agama adalah sesuatu yang krusial. Menyangkut akidah dan keyakinan, maka perlakuan terhadap mereka yang pindah agama juga tak main-main. Pemimpin Muslim akan memberlakukan hukum syariat yaitu dibunuh jika dalam tiga hari tidak ada pernyataan taubat dan syahadat lagi kembali memeluk Islam. 

Mengapa demikian? Sebab Allah selalu mengaitkan setiap amal hambaNya di dunia ini dengan keimanan. Dan itu sangatlah adil, jika tidak, bayangkan betapa beruntungnya seorang mualaf yang cukup mengucapkan syahadat tapi tidak menjalankan syariat. Sementara yang Muslim sejak kecil mungkin juga bermalas-malasan atau enggan meskipun ia tahu taat syariatlah kelak yang menyelamatkannya. 

Allah berfirman dalam QS An-Nahl:97 yang artinya: "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." 

Ayat di atas sebagai bukti betapa erat kaitannya iman dan amal shalih. Hal ini tidak berlaku bagi pemeluk agama lain. Maka, inilah pula alasan negara harus menjamin semua Muslim bisa melaksanakan setiap amal beriringan dengan keimanannya. Sebab, fungsi negara dalam Islam adalah sebagai penerap hukum syariat, menjadikan syariat sebagai satu-satunya solusi bagi setiap persoalan rakyatnya. 

Media sosial sebagai wasilah i'lan ( pemberitaan) negara juga harus menyambungkan apa yang seharusnya diketahui rakyat, yaitu kebenaran, hak dan kewajiban sebagai hamba Allah dan keindahan Islam. 

Seharusnya disampaikan pula bahwa arus perpindahan agama itu bukan tren namun justru kemunduran berpikir kaum Muslim yang tidak lagi takut apa akibat keputusannya. 

Lantas bagaimana dengan ayat berikut? "Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya". QS Ali Imran 3: 19.

Bagaimana pertanggungjawaban kita, bukankah kita sudah bersyahadat , menyatakan beriman, namun ketika ada yang hendak merobek kebenaran dan kesucian Islam kita hanya diam bahkan ikut menganggap ini tren?

Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya ini adalah ujian bagimu, bagi agamamu, sudah seharusnya kita berdiri di barisan terdepan untuk mengedukasi umat, agar ide liberalisme, pluralisme dan sekularisme enyah dari benak bahkan kebijakan pemerintah hari ini. Sebab kita pun akan dimintai pertanggung jawaban, dengan apa kita ubah kemungkaran ini? Wallahu a' lam bish showab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun