Tepat hari ini, 17 Agustus 2021, Negeri tercinta Indonesia memperingati Hari Kemerdekaannya ke-76. Dan tidak bergeser hari liburnya sebagaimana  1 Muharram kemarin, yang menandakan pergantian tahun Hijriyah bagi Kaum Muslim. Apakah karena hari ini adalah keramat, sehingga tak ada yang berani menggeser dan mungkin juga virus Covid-19 sejenak menghentikan aksinya sehingga tidak akan ada kluster baru dalam kerumunan upacara bendera.
Sisi lain, bisa ditebak, muncul berbagai twitbone yang berhubungan dengan kemerdekaan, cuitan nitizen yang luar biasa, dengan mengatakan PPKM kali ini bukan lomba panjat pinang, tapi perpanjang kesabaran. Belum lagi dengan situs yang menyediakan kata-kata mutiara atau motivasi yang berkaitan dengan kemerdekaan.Â
Berbagai link film masa perjuangan bertebaran, dari yang dalam negeri hingga luar negeri. Gambar-gambar para tokoh yang kental nuansa Nasionalismenya pun tak ketinggalan, selalu mengingatkan tahun 2024 akan ada pesta demokrasi lagi, janji manispun ditebar dan rakyat yang pemaaf menyambutnya dengan antusias.Â
Benarkah kita sudah merdeka?Â
Taufik Ismail, salah satu sastrawan Indonesia mengatakan, "Jangan teriak merdeka, malu kita". Mengapa? Lanjut Taufik, Negeri ini masih dicekik ribuan triliun hutang berbunga haram. Jika negeri ini telah mampu melunasi hutang itu. Silahkan teriak merdeka ! Jika belum mampu, lebih baik diam dan berfikir, Malu kita!Â
Lanjutnya, Negeri katulistiwa ini dihampari kekayaan alam yang luar biasa. Namun dikelola oleh orang lain. Rakyat hampir tak menikmatinya. Jika kekayaan alam ini belum bisa dikuasai negara. Jangan teriak merdeka ! Lebih baik diam dan berfikir. Malu kita! Dan banyak lagi . Inilah bukti, kita mungkin tak lagi hidup di masa penjajahan secara fisik yang setiap saat berhadapan dengan moncong senjata.
Namun kita menghadapi masa dimana penjajahan dalam bentuk Neoimperialisme alias penjajahan gaya baru, dengan prank, hoax, narasi yang dibingkai kepalsuan hingga perjanjian dan kerjasama, apapun. Dan yang paling keji adalah ekonomi dan pendidikan. Negara kaya raya, makmur, dan berkecukupan berubah menjadi miskin. Sebut saja Yunani, Afrika, Somalia dan yang lainnya, tak terkecuali Indonesia.Â
Taufik Ismail, baru menyebutkan dua hal, padahal kenyataannya kita sudah mengalami kehancuran di luar batas toleransi. Jika karena pandemi Covid 19 digambarkan ekonomi yang jeblok, namun faktanya sosial masyarakat lebih parah. Kriminalitas meningkat, bunuh diri menjadi solusi, masyarakatnya mudah marah, menghujat, saling menghina antar kelompok padahal sesama muslim. Dan yang krusial, kaum Muslim tak lagi mengenal Islam sebagai solusi.Â
Akibatnya adalah ancaman kian merasuk ke dalam setiap individu, tak lagi fokus pada akar persoalannya. Arah pandang terhadap kehidupanpun berubah, arti kebahagiaan bergeser, terutama yang ditunjukan oleh para penguasa , padahal semestinya merekalah teladan bagi rakyat dalam berperilaku.Â
"Rusaknya rakyat tidak lain adalah karena kerusakan para penguasa. Dan rusaknya para penguasa ialah karena kerusakan ulama. Kalau bukanlah karena qadhi-qadhi yang jahat dan ulama yang jahat, akan sedikitlah kerusakan pada para penguasa; karena mereka takut perbuatan mereka yang salah akan ditegur," ucap Buya Hamka dengan menyitir perkataan Imam al-Ghazali, saat Pekan Orientasi Ulama/Khatib Seluruh Indonesia pada 6-12 Desember 1976 di Jakarta. Demikian dicatat jurnalis senior Rosihan Anwar dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (1979:159).
Artinya jika dihubungkan dengan keadaan hari ini, kita masih jauh dari merdeka, mengapa malah uforia? Tidakkah hal ini menjadi bahan muhasabah bagi setiap orang. Merdeka artinya hijrah, berpindah dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Jika belum maka tidak mungkin bisa disebut merdeka.Â
Sekalipun sudah mengenakan baju suku Badui dan Jawa Barat. Masalah masih tetap ada. Dan Allah pun hanya membolehkan manusia menyembah Sang Khalik alias pencipta segalanya.Â
"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (21) Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air [hujan] dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah [5] padahal kamu mengetahui". (22). (Q.S. Al-Baqarah [2]: 21-22).
Maka, dengan memahami ayat tersebut, wajarlah jika hari ini kesedihan tak berkesudahan, ketidakadilan dipraktikkan oleh hakim (Qadhi), krisis yang terus menyengsarakan adalah buah dari diterapkannya hukum buatan manusia , meniadakan campur tangan Allah Sang Khalik dan Mudabbir. Wallahu a'lam bish showab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H