Pemerintah kembali mengesahkan aturan baru, terkait mudik Lebaran 2021, dimana mudik dilarang  namun tempat wisata di buka. Secara alamiah masyarakat menjadi bertanya-tanya akibat isi dari larangan itu.  Mengapa demikian kontradiktif?Wakil Gubernur Jawa Timur,  Emil Elestianto Dardak kemudian menjelaskan, dibukanya tempat wisata dan dilarangnya mudik bukan bermaksud untuk pilih kasih. Emil menyebut bahwa Satgas Covid-19 memiliki pertimbangan mana yang sanggup dikendalikan dan memiliki resiko tinggi.
Dirinya juga mengaku prihatin, karena dengan  terbitnya larangan dari pemerintah, bukan hanya rakyat biasa yang tak bisa mudik ke kampung halaman, dirinyapun termasuk orang yang harus legowo (iklas) tak bisa mudik.
Dengan alasan Covid-19 maka ajang silahturahmi dan bermaaf -maafan harus dilarang. "Kalau mudik dibatasi, dibatasi berapa, siapa yang boleh mudik siapa yang enggak, kan, sulit juga. Sedangkan kalau tempat wisata yang biasa seribu orang, mungkin bisa maksimal cuma berapa ratus," kata Emil (jpnn, 10 Maret 2021).
Pertanyaannya meskipun dibuka dengan protokoler ketat, apakah hal ini menjamin tidak ada kluster penularan baru? Mengingat beberapa kebijakan yang sudah diterapkan nol besar hasilnya, bahkan hingga kini PKKM skala Mikro untuk beberapa wilayah masih berlangsung.
Kampung tangguh yang menjadi andalan pemerintah bannernya belum diturunkan, yang artinya belum aman dengan aman yang sebenarnya. Angka penderita Covid-19 memang diklaim menurun, hal inipun pernah terjadi. Namun ternyata pasca liburan panjang atau sekadar week end angka positif Covid-19 sudah melonjak.
"Bahwa ini diperpanjang 23 Maret sampai 5 April dan 5 daerah tambahan adalah Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat sehingga menjadi 15 daerah," kata Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) Airlangga Hartarto dalam konferensi pers daring, Jumat (kompas.com,19/3/2021)
Sebagai manusia kita memang tak boleh patah semangat ataupun berpikir negatif, namun jika kejadian pelonjakannya berulang mungkinkah masih bisa dipercaya. Terlebih dengan enteng pemangku kebijakan ini mengatakan lebih mudah mengendalikan jumlah kerumunan di tempat wisata.
Bagaimana dengan di jalan, tempat-tempat umum selain destinasi wisata resmi, mungkinkah tak akan ada kerumunan. Namun masih saja yang dipentingkan adalah buka pariwisatanya, kebijakan beraroma bisnis. Bahkan tak lagi layak jika dikatakan sebagai pilih kasih, ini lebih kepada menjerumuskan pada kondisi heard immunity ( kekebalan yang didapat dari pembiaran tertular, yang kuat imunnya menang sedang yang lemah kalah).
Sebenarnya yang harus didahulukan bukan pelarangannya, tapi menemukan solusi yang paling tepat, bukan uji coba terus menerus, melainkan benar-benar solusi yang terbukti kebenarannya sebagai solusi ketika diterapkan. Rakyat telah lelah menanggung sendiri penderitaan ini, dari sejak sulitnya mendapatkan pekerjaan, mahalnya pendidikan, mahalnya kesehatan hingga menurunnya pertumbuhan ekonomi.Â
Memang seharusnya mengambil pendapat ahli dan melihat kembali bagaimana Rasulullah Saw dan para sahabat mengatasi epidemi ini. Wallahu a'lam bish showab.