Mohon tunggu...
La Here Kaharfin
La Here Kaharfin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Pengajar Universitas Negeri Gorontalo

Menjelajahi sisa usia dengan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mengurai Kegalauan: Disonansi Kognitif Dibalik Dilema Emosional

30 September 2024   08:56 Diperbarui: 30 September 2024   13:57 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo By Nik Shuliahin from Unspash.com

Misal, sekelompok orang gemuk mendapat informasi bahwa gemuk itu tidak baik bagi kesehatan dan menganjurkan mereka untuk diet maupun olahraga untuk mengganti pola hidup tidak sehat mereka. Alih-alih termotivasi dengan informasi tersebut sebagian dari mereka justru tidak mau merubah perilaku dan keyakinan mereka. Mereka mencoba keluar dari kegalauan mereka dengan cara mencari pembenaran terhadap perilaku mereka. Kemudian mereka memilih untuk merasionalisasikan tindakan mereka kedalam istilah self love yaitu orang-orang yang mencintai diri mereka apa adanya.

Ketiga, Mengurangi kepentingan atau mengabaikan konflik. Dalam menghadapi inkonsistensi perilaku dengan keyakinan dan perasaannya terkadang seseorang memilih untuk mengabaikan stimulus baru yang didapatkan. Dengan menjadikan stimulus tersebut sesuatu yang tidak penting. Tujuannya adalah untuk mengurangi konflik emosional dalam dirinya. Dengan pengabaian konflik tersebut seseorang  dapat terus melanjutkan aktivitas inkonsistensi mereka dan merasa seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

Keempat, Membandingkan  dengan orang lain. Metode terakhir yang cukup banyak digunakan oleh seseorang dalam menghindari disonansi akibat inkonsistensi perilaku dengan keyakinan serta perasaannya adalah dengan membandingkan diri mereka dengan orang lain yang mungkin berperilaku lebih buruk dari mereka. 

Misalnya, ketika seorang anak malas kemudian dinasehati orang tua agar berperilaku rajin. Dia justru membandingkan perilaku malasnya dengan saudaranya yang jauh lebih malas dari dia. Walaupun sebenarnya dia mempunyai peluang untuk membandingkan dirinya dengan saudaranya yang lain yang jauh lebih rajin darinya. Tujuannya adalah untuk menghindari perubahan perilaku atau keyakinan yang mungkin dapat menyusahkannya dikemudian hari.

Dari penjelasan singkat mengenai disonansi kognitif dan dilema emosional diatas setidaknya ada beberapa catatan yang saya berikan agar dipahami ketika seseorang sedang mengalami kegalauan.

Pertama, Jujur. Seseorang harus jujur dengan diri sendiri ketika sedang mengalami kegalauan. Setidaknya, dengan mengakui bahwa dia sedang mengalami kegalauan, dia akan semakin mudah untuk merepresentasikan keyakinan dan perilaku mana yang sedang bertentangan. Dengan jujur terhadap diri sendiri dia juga akan dengan mudah melakukan pilihan-pilihan rasional dan logis tentang langkah apa yang selanjutnya akan dilakukan.

Keadaan jujur seseorang terhadap keadaan disonansinya memang tidak membuat dia keluar dari keadaan tersebut. Namun, kejujurannya akan mengurangi tekanan emosional yang dimiliki serta memudahkan proses pengambilan keputusan dalam perubahan perilaku atau perubahan keyakinan dimasa yang akan datang.

Kedua,mengabaikan perasaan dan logika. Mengabaikan perasaan dan logika disini bukan berarti kita serta merta membuang total logika dan perasaan tersebut. Akan tetapi, setiap melakukan pertimbangan-pertimbangan mental menggunakan logika dan perasaan kita harus bersedia berdiri diatas keputusan yang ilmiah, sistematik dan bahkan teruji. 

Hal ini dikarenakan logika dan perasaan manusia bisa jatuh dalam kekeliruan. Apalagi jika hasrat kita dikendalikan oleh dasar berpikir atau ilmu yang tidak benar. Anugerah logika dan perasaan yang kita miliki digunakan untuk menganalisis sebuah informasi baru. Bukan untuk menolak dalil atau fakta data yang nyata dipelupuk mata.

Ketiga, bersedia merubah keyakinan dan perilaku. Sehebat apapun seseorang memegang teguh sebuah keyakinan serta nilai norma jika dia bersedia untuk berubah menuju kearah perbaikan maka dia akan mudah berubah. Terkadang seseorang memegang teguh sebuah keyakinan dalam dirinya bukan atas dasar kebenaran akan tetapi didasari oleh pengalaman dan pengetahuan yang dialaminya. Kekeliruan seperti ini adalah hal yang wajar dalam proses hidup seseorang. 

Hanya saja seseorang harus siap melakukan perubahan keyakinan dan perilaku jika kemudian  dia telah menemukan keyakinan pembanding yang lebih resional dan teruji secara sistematik. Hal ini tidak lain adalah untuk menghindarkan diri dari inkonsistensi yang berakibat pada disonansi. Apalagi perlu pahami bahwa setiap disonansi yang tidak teratasi --terutama dalam hal yang benar- pasti akan mempunyai efek dikemudian hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun