Kegalauan yang berasal dari kata dasar "Galau" merupakan akronim dari kata "Gundah Gulana". Gundah gulana berarti suatu keadaan emosional yang ditandai oleh perasaan cemas, tidak pasti, dan bingung. Kegalauan adalah ekspresi emosional yang dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti tekanan sosial, masalah pribadi maupun problematika kehidupan yang khas.
Bagi sebagian orang galau merupakan hal yang rumit dan menjengkelkan untuk dialami. Padahal, dalam kenyataannya galau merupakan bagian dari pengalaman hidup yang dapat membantu seseorang dalam proses refleksi dan pengambilan keputusan yang lebih baik di masa depan. Bahkan, jika galau dapat dikelola dengan metode yang benar dapat membuat seseorang mampu berpikir kritis dan sistematis untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Hanya saja, tidak semua orang dapat mengatasi problematika emosional ini dengan benar.
Galau mungkin dapat kita jabarkan dalam beberapa bentuk seperti ketidakpastian atau kebingungan dalam mengambil keputusan, kehilangan atau kekecewaan, ketidakpuasan terhadap diri sendiri, tekanan sosial dan ketidakjelasan masa depan.
Kegalauan dapat dialami pada semua jenjang usia. Namun, pada realitasnya usia remaja paling rentan mengalami galau. Hal ini  disebabkan oleh beberapa hal spesifik yang dialami remaja seperti perubahan fisik dan emosional, pencarian identitas, tekanan sosial, kecemasan akademik serta krisis existensial atau keadaan dimana remaja mulai mencari makna hidup, nilai-nilai dan tujuan hidup mereka. Bisa jadi, hal inilah yang membuat kasus bunuh diri terbanyak dilakukan oleh usia remaja. Data Word Health Organization (WHO) mengungkapkan lebih dari 720.000 orang bunuh diri tiap tahunnya. Dan merupakan penyebab kematian ketiga pada usia 15 -- 29 tahun.
Didalam kajian psikologi terdapat beberapa teori yang dapat digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan kegalauan. Salah satunya adalah melalui Teori Disonansi Kognitif temuan dari seorang psikolog sosial berkebangsaan Amerika, Leon Festinger. Teori ini menggambarkan bahwa kegalauan seseorang diakibatkan oleh ketidaksesuaian atau inkonsistensi antara keyakinan, perasaan serta nilai-nilai yang diimani dan tindakan atau perilaku yang dilakukan.
Umumnya seseorang akan berprilaku sesuai dengan keyakinan dan nilai yang dipegangnya. Jika pada kenyataannya orang tersebut melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dia yakini maka dia akan merasakan ketidaknyamanan atau dilema emosional pada dirinya atau disonansi. Atau dalam tulisan ini kita menyebutnya dengan istilah galau atau  kegalauan. Contoh kasus dalam hal ini diantaranya, seseorang meyakini bahwa rokok dapat merusak kesehatan, dapat mengganggu hubungan sosialnya, bahkan mungkin sampai pada tahap mengharamkan rokok sesuai dengan ajaran agama yang dia yakini. Jika dia tetap melakukan aktifitas merokok maka dia akan mengalami kegalauan pada dirinya. Entah disaat dia sedang merokok atau setelah merokok, namun masih memiliki keinginan untuk mengulanginya dimasa yang akan datang.
Leon Festinger dalam teori ini juga memberikan alternatif untuk mengurangi dan/atau -dalam keadaan tertentu- menghilangkan kegalauan yang sedang kita alami. Hanya saja patut dipahami bahwa pilihan metode yang digunakan tergantung seberapa besar disonansi yang dirasakan dan seberapa besar seseorang bersedia mengubah perilaku atau keyakinannya.
Pertama, Merubah keyakinan atau perilakunya. Seseorang yang merasa galau maka mempunyai pilihan sadar untuk merubah perilaku atau keyakinannya. Perubahan ini ditujukan untuk menghilangkan tekanan-tekanan emosional yang berarti. Misal, seorang dokter yang mengetahui bahwa olahraga sangat dibutuhkan tubuh agar tetap sehat tetapi dia tidak melakukannya, maka dia akan masuk dalam tahap galau. Untuk menghilangkan kegalauannya maka dia bisa memilih untuk merubah perilaku dengan berolahraga atau memilih merubah keyakinan bahwa olahraga tidak terlalu dibutuhkan tubuh. Mungkin kedengarannya konyol, tapi itulah yang dilakukan sebagian orang ketika mendapatkan perilakunya bertentangan dengan keyakinan, nilai atau norma yang dianut. Dalam bentuk lain mungkin kita pernah mendengar seseorang yang dinasehati agar berhenti merokok dan jawaban mereka adalah "Merokok mati, tidak merokok mati, mending merokok sampai mati".
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa perubahan perilaku maupun keyakinan bisa berlaku keterbalikan dari contoh diatas. Seorang yang berperilaku baik bisa jadi berperilaku buruk karena kesalahan dalam informasi yang diterima atau kelemahan dalam merepresentasi informasi baru sehingga keyakinan dan perilaku baik yang sudah lebih dulu ada tergantikan dengan keyakinan dan perilaku yang buruk.
Kedua, Merasionalisasi atau pembenaran tindakan. Metode lain yang dilakukan oleh seseorang adalah dengan mencari pembenaran yang seakan rasional. Keyakinan dan perilaku yang awalnya mereka konsisten diatasnya mungkin terusik oleh informasi baru yang mereka temukan. Namun, bukannya menerima atau mencari tau tentang kebenaran informasi tersebut mereka justru memilih untuk mencari pembenaran terhadap perilakunya.Â