Mohon tunggu...
M. Gazali Noor
M. Gazali Noor Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan.

Hobi pada buku bacaan dan pemikiran rasional dan humanis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kesesuaian Kelebihan Hanya 8 Suara Dalam Tren Ayat-Ayat PKPU

16 Desember 2024   14:47 Diperbarui: 16 Desember 2024   15:30 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selisih suara yang teramat tipis setelah rekapitulasi penghitungan suara Pilkada Barito Utara kemarin masih menarik untuk dianalisa dan dibahas.


Saat ini gugatan pada hasil rekapitulasi KPU sudah masuk di Mahkamah Konstitusi (MK), dikarenakan Paslon Agi Saja yang menggugat hasil rekapitulasinya. Sudah tentu tim hukum Agi Saja membawa bukti-bukti versi mereka yang dianggap kuat.

Dalam negara hukum dan demokrasi, hal itu adalah langkah yang bagus. Bermain sesuai aturan, menghormati dan menerima hasil keputusan MK nantinya adalah langkah yang paling oke di era modern saat ini.

Nyinyir, berceloteh, apalagi provokasi hanya berdasarkan emosional disebabkan minusnya dalil-dalil yang rasional, bukan jamannya lagi diera kekinian dan bisa-bisa malah jadi objek tertawaan.

Wartawan non bodrex yang mengerti demokrasi dan update berita-berita politik dalam dan luar negeri serta ilmu pengetahuan, akan sangat gampang menggoreskan penanya dalam memotret keadaan ini. Tahu yang memang pantas dituangkan dalam kritik atau tidak.

Berbeda jauh dengan jurnalis Bodrex UKW (Urusan Keuangan Wartawan) yang berhitung kepentingan kocek masa depan tentang kontrak berita di Pemda seandainya Paslon ini menang atau kalah. Pena tulisannya akan menuangkan tulisan dengan kalkulasi politik untuk kontrak masa depan redaksi.

Sangat parah lagi Bodrex yang sudah tidak mampu menulis ditambah lagi tak mampu "membaca". Semua kritik atau pemikiran yang ditujukan ke bosnya ditanggapi dengan gelap mata, sama sebagaimana ia menulis yang berantakan atau copy paste. Bahkan berita yang sebenarnya menyelamatkan bosnya, karena tidak mampu membaca judul dan tidak paham tanda baca diprotesnya. Owalaaah...

Bodrex yang sudah terjun sebagai timses atau kontrak media pada salah satu paslon dapat menjadi guard dogs and tame dogs, menjadi tuna demokrasi. Atau mungkin tidak tahu apa itu demokrasi. Padahal bisa saja ia tetap menjadi partner bosnya dengan memilih sari-sari info yang berkualitas rasional untuk disajikan, sehingga menjadi diskusi yang mencerdaskan.

Bodrex politik sudah kita "sentik", kita kembali tentang diskusi tren PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) mengenai limit perolehan suara.

Di dalam PKPU No. 8 Tahun 2024 beberapa ambang batas suara sebenarnya terdapat di dalamnya. Seperti pada Pasal 11 ayat 1 - 3.

Pasal 11

(1) Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu dapat mendaftarkan Pasangan Calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20%(dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD atau 25% (duapuluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sahdalam Pemilu anggota DPRD di daerah yangbersangkutan.

(2) Dalam hal Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu dalam mengusulkan
Pasangan Calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika hasil bagi jumlah kursi DPRD menghasilkan angka pecahan maka
perolehan dari jumlah kursi dihitung dengan pembulatanke atas.

(3) Dalam hal Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu mengusulkan Pasangan Calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan
suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik PesertaPemilu yang memperoleh kursi di DPRD.

Fokus perhatian kita menyorot pada frasa "paling sedikit".

Dalam PKPU di atas ternyata angka 20% dan 25% dianggap sebagai "paling sedikit" dengan segala cara perhitungannya.

PKPU terlihat sangat teliti sekali meletakan angka persenan yang proporsional dan menggunakan kata yang hemat sekali, yaitu "paling sedikit".

Delapan ( 8 ) suara misalkan dimasukan dalam sebuah PKPU, cocok kah apabila memakai frasa "paling sedikit 8 suara". Bagaimana rasanya andai kata misalkan PKPU menuliskan "paling sedikit 8 suara" dalam peraturannya?

Apakah tidak terasa terlalu aneh dan "ecek-ecek" bagi sebuah aturan Pemilu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun