Mohon tunggu...
M. Gazali Noor
M. Gazali Noor Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan.

Hobi pada buku bacaan dan pemikiran rasional dan humanis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Pewarta Timses Coba Kuras Perasaan Pemilih dengan Sastra Ambyar

30 September 2024   00:23 Diperbarui: 30 September 2024   00:58 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika Berita Kampanye Pilkada Ditulis Pewarta Timses Dengan Gaya Sastra dan Cerpen Ambyar.

Sah-sah saja apabila pewarta menuliskan "lebih" tentang salah satu calon pasangan dalam Pilkada dimedia berita, asalkan tentu saja berasal dari "potret" yang memang terjadi.

Perlu diketahui, tidak semua web yang mengatasnamakan media berkualifikasi media berita. Bila berkunjung ke webnya lalu kita klik tulisan "redaksi" di fitur webnya, bila tidak muncul nama-nama susunan redaksi perusahaan medianya beserta bukti legalitas hukum perusahaan, berarti itu media jadi-jadian.

Media yang benar pasti ada susunan redaksinya, pemberitahuan bukti legalitas hukum dan kalau mau yang lebih sempurna lagi ada nomor terverifikasi Dewan Pers. Terkecuali media-media besar yang sudah dikenal luas, kadang mereka tidak merasa perlu lagi mencantumkan.

Namun bisa jadi juga medianya tadi tidak mencantumkan karena masih baru sehingga masih membutuhkan susunan pengurus di redaksi mereka. Ini tidak termasuk yang kami maksudkan tadi.

Ada media yang bisa bikin mereka para penulis dan pewarta literasi jadi geli, yaitu apabila penulis beritanya mencoba menulis yang sangat atraktif, bombastis atau penuh dengan akrobatik sastra mengenai satu calon Pilkada.

Jadilah beritanya korban dari penempatan kata dan bahasa yang ambyar, karena memaksakan diri ingin laksana sang penulis roman ala novel yang mungkin pernah dia baca.

Ada yang menulis, "Isak tangis diantara ratusan warga yang sudah lama menunggu blusukan Pak Cabub itu..".

Iya kalau tokohnya setaraf pahlawan yang memang aura dan jejak hidupnya menguras perasaan, atau artis sangat terkenal yang sedang mengulurkan tangan dalam tugas sosial. Tapi calon yang dijagokannya tadi rasa-rasanya tidak ada potongan untuk di isak tangis.

Tahapan kampanye yang cuma beberapa bulan, apalagi tidak pernah terjadi hubungan emosional sebelumnya dengan sang calon, tidak cukup untuk mendatangkan kepercayaan yang dapat menggugah cucuran air mata seseorang. Artinya hanya mengada-ada.

Ada juga ditulis, "suhu politik yang kian memanas saat ini". Padahal warga didaerahnya enjoy-enjoy saja, tidak menunjukan panas.

Kata "panas" berkaitan dengan api sebagai sifat yang membakar, cocok untuk menggambarkan perang urat syaraf atau pertentangan yang sangat keras.

Mungkin maksudnya ingin menulis "tensi politik yang meninggi" atau "pertarungan politik yang sengit". Tapi karena pengetahuan kosa kata yang minim ditulisnya saja "memanas".

Ada lagi beberapa tulisan seperti berikut ini yang akan kita komentari satu persatu.

"antusias warga disepanjang gang-gang perkampungan warga"

Kata memakai gambaran tempat-tempat yang dilukiskan secara umum demikian, cocoknya apabila mayoritas warga disitu sudah sangat merasa berhutang budi pada si calon atau bagi masyarakatnya si calon adalah harapan hidup matinya. Kata demikian biasa terdapat di cerita-cerita pahlawan super hero atau cerita nabi-nabi.

"warga pun tak terbendung berhamburan keluar menyambut"

Bayangkan, begitu mendengar kedatangan sang calon, warga yang ada di dalam rumahnya dikatakan pada berlarian keluar rumah. Masuk akal?

Kata "berhamburan keluar" dipakai apabila terjadi peristiwa mendadak yang mengejutkan. Akan tetapi rencana kedatangan si calon tadi sudah diketahui warga, waktu dan jamnya akan datang berkampanye ke kampungnya sudah diketahui. Ya bukan?

Sebenarnya banyak lagi bahasa sastra ambyar yang salah pakai diberita tertentu tadi. Bisa-bisa bikin mereka yang bertalenta linguistik senyum-senyum.

Singkatnya, barangkali hal itu terjadi karena tidak memiliki talenta dalam menulis, kurang paham memainkan dan menempatkan hiperbola, ditambah terlalu haus atensi untuk calon jagoannya di Pilkada. Memaksakan diri. Mendramatisir atau mengidealisasi yang salah tempat.

Coba bayangkan lagi andai mereka yang seperti ini ngoyo sebagai yang punya kartu kompetensi, dan layak menjadi koordinator yang akan mendikte penulisan seluruh berita para pewarta tim sukses, apa tidak runtuh gedung CNN atau Reuters?

Terakhir, kalau mendapati penulis disini ada salah dalam penulisan mohon tegur sapanya juga, harapannya supaya tidak bernasib seperti "pewarta novelis" tadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun