Janji Kampanye Serba Gratis Ditengah Ekonomi Kembang Kempis
Brunei Darussalam meskipun rata-rata ekonomi warganya "sultan-sultan" ternyata Brunai tidak masuk kategori negara maju oleh beberapa penilaian. Hal itu karena negara maju diukur dari sejauh mana negara tersebut "menghasilkan" atau berperan di pasar dunia. Kemajuan teknologi, industri dan jasa adalah indikator sebuah negara maju.
Sekaya apapun harta suatu negara bila bertahan hidup hanya dari mengeksploitasi hasil alam, maka belum masuk sebagai negara maju.
Meskipun demikian, negara Brunei layak disebut sebagai negara kaya. Pendapatan sebulan warganya saja mencapai 49 juta rupiah, bayangkan. Akan tetapi negara Brunai tidak terdengar pemerintahnya berkata, ya sudah gratiskan saja sudah listrik dan air seperti di negara dengan ekonomi terkaya, Qatar. Atau seperti Luksemburg yang mengratiskan transportasi umum bus dan kereta api atau seperti negara maju Jerman yang mengratiskan biaya pendidikan perguruan tinggi.
Nah, bila ada Kabupaten dimana penghasilannya hanya dari mengeksploitasi alam saja seperti tambang-tambang, tapi nekat sekali menanamkan mindset serba gratisan ke benak warganya. Bukannya tak bahaya menumbuhkan mental ingin serba instan ke warga masyarakat demikian?
Biasanya yang ini marak dimasa-masa Pilkada. Praktek tersebut sebenarnya sama dengan trik produsen yang mencoba menggaet customer dengan menawarkan discount agar produknya dibeli. Biasalah.
Janji Insentif keuangan keluarga, subsidi, bonus, menggratiskan, sebenarnya serupa tapi tak sama dengan tawaran discount.
Namun ada dampak negatif bila mental masyarakat sudah, maaf, "diracuni" dengan mental serba ingin gratisan ini, percayalah.
Menjanjikan gratisan untuk memancing masyarakat supaya memilih dapat membuat kita terjebak dengan "metode marketing" ini terus menerus. Satu contoh bila suatu ketika kita ingin menerapkan berbayar dengan tarif yang normal, masyarakat akan beranggapan harga yang kita patok sudah terlalu mahal. Karena sudah terbiasa.
Gratisan pastinya akan menguras profit kita. Selain itu, kita akan kesulitan menaikan harga layanan meskipun ke tarif atau harga yang normal dikemudian hari. Kalau begitu terus tentu profit kita tidak akan sehat.
Serba gratis dan sejenisnya akan mengurangi kualitas pelayanan. Layanan yang diberikan meskipun yang terbaik, sudah terlanjur dianggap tidak layak dibayar dengan harga mahal. Semua akan menjadi tidak bernilai.
Negara - negara yang menerapkan gratisan, disana ada tujuan lain dibaliknya. Di negara yang menggratiskan biaya persalinan seperti Jepang misalnya, adalah untuk mengatasi angka kelahiran bayi yang sudah sangat rendah. Apabila yang seperti ini diterapkan di wilayah yang justru sedang menghadapi ancaman pertumbuhan penduduk yang tinggi, bisa dianggap program yang "kurang waras'. Program tersebut dapat membuat ledakan kelahiran bayi.
Gratis tetap dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi sama seperti discount yang diberikan hanya pada waktu-waktu tertentu saja, pada hari raya atau peringatan misalnya. Artinya gratis bisa diterapkan, tetapi dengan syarat-syarat dan dalam keadaan tertentu saja agar ekonomi daerah tetap sehat tanpa mengurangi perhatian kepada warga masyarakatnya. Bukan obral gratis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H