Mohon tunggu...
M. Gazali Noor
M. Gazali Noor Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan.

Hobi pada buku bacaan dan pemikiran rasional dan humanis

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Dunia Jurnalistik Ada Juga Lucu-Lucunya

16 Agustus 2024   03:56 Diperbarui: 16 Agustus 2024   04:08 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari perlombaan senioritas, lomba atribut busana berhambur logo organisasi sampai problem talenta linguistik

Disela-sela meliput kegiatan pemerintah, tiba-tiba datang seorang dengan perawakan agak tinggi dengan tulisan besar di punggungnya, singkatan salah satu induk organisasi wartawan Indonesia terkemuka. Dengan gaya acuh tak acuh dan enggan menyapa wartawan lain, rupanya dia wartawan yang sudah senior. 

Perlu di ingat, cerita muqaddimah ini bukan di kota besar semegah kota metropolitan. Kisah ini berada disebuah kota yang dikelilingi hutan belantara di Borneo sana.

Tanya punya tanya, ternyata sang senior tadi mendapat "seragam kebesaran wartawannya" dari bantuan penegak hukum atau aparat didaerahnya yang bagi-bagi baju seragam wartawan untuk para jurnalis. Diluar pembicaraan kita soal mempertahankan independensi.

Ya sudah, kita lewati saja cerita menggelitik sebagai pemanasan untuk pembukaan artikel ini.

Sebagaimana profesi yang lain, profesi pewarta sama, juga dikerjakan oleh mahluk yang namanya "manusia". Pastinya yang namanya pekerjaan tujuannya untuk mendapatkan penghasilan.

Sebuah pabrik, untuk kepentingan industrinya, perusahaan butuh manusia yang cakap mengoperasikan mesin-mesin produksi mereka. Sama juga dengan perusahaan media, tentu butuh manusia yang terampil dalam menuangkan hasil analisis atau observasinya ke dalam bentuk tulisan. Berita.

Manusia dianugerahkan bakat bawaannya masing-masing. Berdasar sumber "Dunia Perpustakaan.Com tahun 2022", manusia disebut memiliki 9 jenis kecerdasan. Tentang ini bisa juga dirujuk ke klikdokter.com yang membahas psikologi manusia. Jadi manusia sudah ada "lapak" kecerdasannya masing-masing.

Dari sembilan kecerdasan manusia yang terdapat di daftar sumber tadi. Untuk profesi pewarta atau wartawan, yang dibutuhkan jelas adalah "kecerdasan linguistik". Kecerdasan dalam berbicara, suka membaca (kutu buku) dan menulis.

Maka bisa celaka dua belas, bila profesi yang semestinya untuk manusia bertalenta linguistik, dipegang oleh manusia yang jauh dari bakat tersebut. Dunia hidupnya pun sangat jauh bagai langit dan bumi dari dunia pustaka. Tidak ada pembawaan suka baca buku atau tulis menulis di karakter person orangnya. Jadi biarpun sudah UKW, maaf, rasanya kalau manusianya bukan mahluk literasi ya tetap saja. Akan cuma legalitas dan syarat administratif.

Karena itu bisa timbul produk yang katanya produk jurnalistik, tapi tata penulisannya dinilai netizen terlalu berantakan, kaku dan tidak kreatif. Monoton. (seperti penulis sendiri). Berita tulisannya yang kita baca hari ini kita rasakan seperti beritanya kemaren juga. Ya begitu-begitu saja. Menyebut tempat, kutip kata sambutan, kutip laporan, siapa yang hadir disitu, sudah, esok begitu lagi. Kita seperti membaca berita yang sama di edisi berikutnya.

Wartawan senior dalam sebuah artikel pernah menceritakan, bagaimana seorang wartawan menulis "Pakta warsawa" jadi "Fakta Warsawa". Ini menunjukan penulisnya tidak mengenal dengan baik materi yang ditulisnya sendiri, yaitu aliansi militer blok timur. Kata remaja, kayaknya sok tau deh. 

Ada pula pernah kami baca, pembuat berita yang menulis tentang kedatangan jamaah haji. Dalam beritanya dituliskan, bahwa "para jamaah haji tersebut merasa bersyukur atas nikmat Iman dan Islam yang diberikan Allah Swt kepada mereka". Kita rasanya cukup familiar dengan ungkapan ini, biasanya "nikmat iman dan Islam" ada dalam khutbah Jum'at atau ceramah. Lagi pula, dimana dia dapat tahu para jamaah tersebut merasa bersyukur atas nikmat Iman dan Islam? Dia bisa tahu keimanan orang lain? Yaa capek deh.

Kalau menulis kata seperti "Mempengaruhi" di beritanya ini sudah bertebaran dimana-mana di produk yang diterbitkan. Mestinya ditulis "Memengaruhi". Meletakan tanda baca atau penggunaan huruf yang salah, mestinya pakai huruf "F" tapi ditulis pakai huruf "P" atau "V", ini banyak sudah terbit bukan? 

Sama, kami juga bisa keliru menulis sobat, misalnya pernah tertulis, "mensukseskan", pas mau diralat jadi "menyukseskan" eh sudah diterbitkan. Artinya kita ini masih harus terus belajar dan update tentang Bahasa. Kita masih miskin papa kosa kata. Pelajaran Bahasa Indonesia yang disekolah dulu sering kita anggap remeh sepertinya menampar balik disaat ini. Sebentar penulis mau mengusap muka dulu karena malu juga.

Kita sebagai pemirsa tidak butuh standart yang muluk-muluk setaraf tulisannya Pak Dahlan Iskan, cukup dia memang dianugerahi oleh yang kuasa talenta linguistik rasanya sudah lumayan.

Itu tadi pembicaraan kita tentang wartawannya, belum mengenai Pimpinan Redaksinya? Sebagai asas keberimbangan ala kita yang awam bagaimana kita bahas yang ngeri ngeri sedap. "Pemimpin Redaksinya"?

Pimpinan redaksi wartawan juga bukan? Permasalahan di atas dapat kita sodorkan lagi ke dirinya. Pisau analisa kita kini beralih ke dirinya lagi. Oke lah kalau sudah kaliber tingkat nasional, tapi beberapa yang menyebut dirinya Pimred, terutama lokalan, tidak selamat juga dari kesalahan mendaratkan tulisannya. 

Perlu di insyafi pula, dia memang bukan penulis sekaliber penulis buku lebih lagi pemikir, dia hanya peramu informasi dalam beberapa paragraf dan bertahan lama dalam profesi yang menaikan jenjangnya. Alhasil, sekian lamanya meramu info dalam bentuk tulisan. Terbiasa.

Dibeberapa situasi dapat ditemukan Pimred yang berlomba disebut sebagai senior. Suka menyebut-nyebut bahwa dirinyalah yang mendidik orang ini atau ini sampai bisa jadi wartawan. Padahal talenta seseorang memang bawaannya sejak lahir. Biar ditimpa kepalanya pakai batu satu ton kalau tidak memiliki talenta tetap tidak akan bisa meski dibimbing sampai seribu kali lebaran tikus 

Yang lebih parah lagi, bila pihak redaksi merasa tidak mau kalah dari wartawannya. Ada rasa "cemburu" bila wartawannya menulis sangat cantik lebih dari dirinya. Akhirnya tulisan yang sebenarnya normal saja diintervensi agar terlihat ada keterlibatan editor dan supaya penulisnya tidak terlalu menonjol dihalaman medianya. Alamaak...

Ada lagi di kegiatan peliputan suka tampil menunjukan diri dengan pakaian yang penuh dengan lambang-lambang atau atribut-atribut logo organisasi kewartawanan. Sebenarnya, ini justru dapat jadi tanda alam bawah sadarnya sedang ingin menutupi kelemahan dirinya. Dia menginginkan perhatian orang-orang pada atribut-atributnya, bukan pada karya jurnalistiknya nanti yang kinclong.

Namun ada pula Pimpinan Redaksi yang benar-benar mendidik dan senior. Pimpinan satu ini tidak banyak bicara. Bimbingannya kamu kerjakan ini kerjakan itu. Keras. Bila mengedit berita anak buah pun diam saja, mendidik dengan memberikan contoh.

Barangkali kelucuan yang kita boyong di artikel ini, terdapat hanya di lapisan paling bawah dunia jurnalistik. Ditempat paling sunyi dari hiruk pikuk kancah pemberitaan nasional apalah lagi internasional. Kompetisi diarena skala yang sangat terbatas. Sempit. Disanalah "raja-raja media" itu tampil dengan segala pernak pernik leluconnya.

Penulis : Wartawan Lokal, Aktivis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun