Gedung Setan, begitulah orang menyebut gedung yang tua dan kuno itu. Nama dan sosok gedungyang berada di kawasan Banyu Urip dan Kupang – Surabaya, Jawa timur ini sangat terkenal.Selain bangunannnyayang tampa unik, besar dan menarik perhatian; lokasinya juga tidak jauh dari jalan raya sehingga bisa dengan mudah dilihat dan dikenali bangunannya.
Gedung Setan ini tampak berwarna putih dan kusam. Dari tampak luar, terasa nuansa yang cukup menyeramkan ala Dunia Lain ketika melihat bangunan itu.
Tak salah jika banyak orang yang kemudian menyebut gedung itu dengan nama Gedung Setan. Walaupun sebenarnya ada pendapat lainnya yang menjelaskan tentang sejarah dan asal mula sebutan tentang Gedung Setan itu.
Di sekitar Gedung Setan terdapat sebuah pasar tradisional yang dikenal dengan nama pasar Gedung Setan. Yang menarik dan tampak berbeda dengan pasar-pasar tradisional lainnya, pedagangdi pasar ini didominasi oleh orang-orang yang beretnis Tionghoa.
Rupanya, orang-orang yang beretnis Tionghoa itu merupakan warga yang menghuni Gedung Setan itu.Saat ini ada sekitar 50 keluarga atau sekoitar 200 jiwa yang menghuni Gedung Setan. Mereka menempati gedung itu dalam bilik-bilik yang tampak cukup sempit dan pengap. Gedung Setan itu memiliki luas sekitar 400 M2 dan terdiri dari dua lantai.
Pada bagian belakangnya terdapat bekas altar sembahyang bagi leluhur yang saat ini menjadi tempat parker motor dan sepeda milik para penghuni Gedung Setan. Kondisi bangunan di bagian belakang ini cukup memprihatinkan karena tampak tidak terawat karena banyak kerusakan pada beberapa bagiannya.
Begitu juga dengan suasana di dalam Gedung Setan tampak cukup semrawut denganbanyaknya warga yang menjadi penghuninya dengan berbagai perabotannya.
Saat berada di sana, saya berjumpa dengan seorang ibu yang berusia lanjut yang bernama BiokNyong ( 63 th) yang sedang sibuk memasak. Ibu berputra dua ini menuturkan bahwa dia telah menghuni Gedung Setan ini sejak tahun 1949.
Ibu yang ramah ini pun mempersilahkan saya untuk menuju dan melihat suasana di lantai ua dengan melewati sebuah tangga kayu yang cukup lebar.
Di lantai juga terdapat bilik-bilik para penghuni Gedung Setan. Di bagian tengah terdapat sebuah ruangan yang cukup lapang dengan jendela-jendela yanglebar. Ada seorang wanita tampak duduk bersimpuh dengan membaca doa.
Rupanya, ruangan ini merupakan GerejaPantekosta sebagai tempat beribadah bagi penghuni Gedung Setan dan warga sekitarnya yang beragama Kristen. Tampak gambar Yesus Kristus dan gambar-gambar lainnya menghiasi di ruangan ini.
Gedung Setan ini dibangun untuk ditinggali oleh pemilik pertamanya yaitu J.A. Middelkoop yang membeli area Kupang dari Daendels seharga 4.000 rijksdalders. Julukan rumah setan ini diduga Purnawan Basundoro dalam bukunya "Dua Kota Tiga Zama : Surabaya dan Malang" ( 2009) sudah melekat di benak penduduk Surabaya sejak awal abad ke-20.
Middelkop membangun rumah tahun 1809 dan setelah wafat, rumah berpindah tangan ke orang Tionghoa. Pada masa von Faber pemilik rumah itu adalah Dr. Teng Sioe Hie. Ada pendapat gedung setan diambil dari nama Tionghoa pemiliknya yang bermarga Tan (She Tan).
Saat ini yang mempunyai hak milik atas gedung setan adalah pengusaha bernama Teng Kun Gwan atau dikenal dengan nama Gunawan Sasmito yang merupakan keturunan ketujuh dari pemilik gedung.
Sedangkan para penghuni Gedung Setan selama ini adalah sanak-kerabatnya yang menempati bangunan ini secara turun temurun. Dalam perjalanan hidupnya, mereka banyak yang membaur dan menikah dengan etnis Jawa yang berada di sekitar Gedung Setan.
Gedung Setan dengan pesona sejarah dan nuansa Tempo Doeloe pada sosok bangunannya ini mestinya termasuk bangunan cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah. Saya membayangkan andai Gedung Setan ini direnovasi dan diperbaiki keadaannya, mungkin kelak bisa menjadi salah satu destinasi wisata sejarah di Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya