Tauwa adalah nama makanan itu. Warnanya putih susu dengan bentukseperti puding. Teksturnya terasa sangat lembut sehingga hampir tidak bisa merasakannya ketika tauwa itu sedang kita nikmati. Kuah yang berupa minuman wedang jahe yang hangat menjadi pelengkap tauwa. Tauwa ini sangat mudah dijumpai karena biasanya banyak penjualnya yang menjajakan tauwa dengan berkeliling dari kampung ke kampung. Nikmatnya Oleh-oleh Khas Tuban Mereka biasanya menjual tauwa dengan menggunakan sepeda yang pada bagian belakangnya terdapat kotak-kotak kayu sebagai wadah tauwa, kompor, ceretdan sebagainya.
Walau tampak sederhana, siapa sangka kalau tauwa ini merupakan jejak
kuliner peranakan
Tionghoa di nusantara.
Menurut Dahana Adi, seroang pegiat sejarah dan budaya di Kota
Surabaya yang biasa dipanggil dengan Mas Ipung, tauwa disebut sebagai kuliner peranakan Tionghoa karena pada masa lampau makanan ini merupakan makanan favorit yang biasa dikonsumsi oleh etnis Tionghoa di Indonesia.
Sedangkan di Tiongkok sana tauwa ini tidak ada dan tidak dikenal. Orang-orang dari etnis Tionghoa di Indonesia itulah yang kemudian membuat dan mengolahnya yang memadukannya dengan bahan-bahan yang lainnya.
Kuliner peranakan Tionghoa yang serupa juga dijumpai pada Tauco, bakso dan sebagainya.
Saya menjumpai pedagang tauwa ini ketika sedang melintas menuju ke kawasan
makam Belanda di
Peneleh – Surabaya. Saat itu saya melihat seorang
penjual tauwa sedang melayani pembeli yang bercengkerama di sebuah warung.
Adalah Pak Santun ( 60), nama penjual Tauwa itu. Bapak ini mengatakan sudah berjualan tauwa ini sejak lama yang sayangnya dia lupa sejak tahun kapan memulainya. Yang jelas, saat itu yang dia ingat harga jual setiap mangkok tauwa itu seharga Rp 15. Bandingkan dengan harga tauwa sekarang yang dia jual Rp 3000.
Pak Santun juga menuturkan, pada masa lampautauwa buatannya cukup digemari dan punya banyak pelanggan dari berbagai daerah di kota Surabaya. Dalam sehari rata-rata dia bisa membutuhkan 5 kg
kedelai sebagai bahan baku utama untuk membuat tauwa.Untuk membuat tauwa itu,dia menggunakan alat penggiling kedelai yang terbuat dari batu untuk mengambil
sari kedelainya.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman, usaha Pak Santun masih tetap bertahan hingga saat ini. Walau masa keemasannya telah berlalu, pada saat ini setidaknyatauwa Pak Santun ini juga masih memiliki banyak penggemar.
Selama ini dia rata-rata membutuhkan 2-3 kg kedelai yang dia olah dengan menggunakan alatpenggiling yang terbuat dari logam dan digerakkan dengan tangan.Selain mesin penggiling kedelai yang sudah berubah, peralatan dan perlengkapan yang dia gunakan untuk berjualan tauwa juga sama bentuknya dengan yang dia gunakan pada masa yang lampau.
Selain tauwanya yang cukup menarik, juga ada hal yang menarik lainnya yaitu wadah ceret yang berisi minuman wedang jahe yang terbuat dari sari rimpang jahe. Minuman itu harus selalu hangat. Karena itu penjualnya juga menyiapkan kompor untuk kembali menghangatkannya bila minuman itu menjadi dingin.
Entah bagaimana awal dan hubungannya antara tauwa yang lembut itu itu bisa berpadu dengan minuman wedang jahe yang hangat. Namun ketika menikmatinya karena pengaruh dari minuman jahe, badan juga terasa lebih hangat.
Karena teksturnya yang sangat lembut, menikmati tauwa ini tentu tidak bisa terasa mengenyangkan. Selain untuk menghangatkan badan,biasanya pembeli merasa tak cukup hanya denganmembeli tauwa seporsi saja.
Selain dijajakan secara berkeliling, tauwa ini juga ada yang menjualnya di warung-warung makanan.
Ada juga menjual Tauwa di rumah makan dan restoran lainnya dengan tampilan yang lebih menarik dan tentunya harga yang jauh lebih mahal. Tauwa …., sebuah jejak kuliner peranakan Tionghoayang eksotisdi nusantara.
Cara Jitu dan GRATIS Untuk Promosi Blog / Website Jenazah Utuh Terkubur 35 Tahun
Penampakan Jin,Tuyul dan Pocong Di Tuban
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya