RANI, begitu orang-orang mengenalnya. Posturnya tidak tinggi, tidak juga pendek, mungkin karena berat dan bentuk tubuhnya yang ideal, penampakannya itu selalu saja pas di bingkai mata. Tatkala mampir pertanyaan mengenai rahasia perawatan tubuhnya. Secara otomatis ia akan berkacak pinggang, memamerkan tubuhnya yang langsing seraya berkata, "Ini anugerah!" Sebuah jawaban yang seringkali membangkitkan rasa iri bagi kaum hawa, yang selalu dihantui berat badan berlebih. Terlebih, dengan tambahan keterangan bahwa ia sama sekali tak menjalani program diet. Membatasi diri pada makanan tertentu, menurutnya adalah siksaan. Maka, semakin bertambahlah rasa iri mereka terhadap Rani.
Kata orang, parasnya bagaikan lanskap hijau pegunungan yang segar untuk dipandang. Nyatanya, tak ada yang berlebih dari wajah ouvalnya yang menguning dan menajam di bagian dagu. Rambut ikal panjangnya yang sedikit kemerahan, selalu terikat rapi ke belakang. Dilihat dari dekat, akan terlihat rambut-rambut halus yang seolah tumbuh untuk memberi batasan tegas pada area wajahnya, sekaligus memberi efek sempit pada dahinya yang memang agak lebar, meski tak jenong. Seperti halnya gunung, ia terlihat indah saat berjarak.
Dilihat dari samping, hidungnya jauh dari kata mancung. Bentuknya sedikit bulat, namun terkesan seimbang dengan pipinya yang ranum. Bentuk seperti ini, kiranya akan terlihat tidak proporsional saat dijadikan objek lukis silouete. Faktanya, seperti yang terpajang di pigura emas, tergantung berdampingan dengan sertifikat salon kecantikannya. Sementara bibir tipisnya yang selalu lembap oleh lip  gloss, tak pernah lepas dari segaris senyum yang membuat lekuk wajahnya semakin tegas. Maka kedua pipinya akan tampak merekah dan menonjol.Â
Dari apa yang bisa digambarkan, sangat benar jika dia dikatakan biasa-biasa saja. Hanya saja, semua yang ada di wajahnya seolah bersekutu dalam satu kesatuan yang saling melengkapi. Mungkin sensual adalah kata yang sepadan untuk menggambarkannya. Atau semua keindahannya itu, terpancar dari rasa percaya dirinya yang sangat tebal. Apa pun itu, setiap lelaki selalu saja terpesona dan terpedaya saat menatapnya.
Bersitatap dengannya, ia akan menyodorkan sepasang mata bulat yang berbinar. Tuhan sepertinya sengaja menitipkan rembulan pada bola matanya yang tak pernah padam memancarkan keceriaan. Sorotnya lembut dan terasa hangat, seperti dibuat untuk mencegah, melelehkan dan meluluhkan masalah yang hendak mendekat. Saat menghadapi lawan bicara, sikapnya bagai orang yang paham rahasia komunikasi. Memicingkan mata, menggerakkan alis, menepuk bahu kanan dan seterusnya, seolah ingin menunjukkan perhatian serius, keakraban atau fokus pada pembicaraan. Maka, sorot mata dan gesturenya itu, selalu memberinya kesan sebagai pribadi yang hangat. Karenanya, wajar jika banyak orang yang merasa nyaman saat berada di dekatnya. Â Â Â
Jika pagi merona, Rani akan membuka gorden dan pintu kontrakannya lebar-lebar. Memberi peluang pada udara dan cahaya matahari pagi untuk masuk. Saat itu, ia akan merapatkan jemari dan mengangkat kedua tangannya, mengambil napas dalam-dalam hingga dadanya membusung. Setelah paru-parunya penuh, udara yang diambilnya akan dihembuskan secara perlahan. Begitu terus, sampai merasa puas.
Rutinitas berikutnya adalah menyapu serta megepel teras dan ruangan depan. Ia tak ingin melihat sedikit pun debu atau kotoran yang menempel di area tersebut. Jika sedikit saja terlihat kotoran yang menempel, dengan segera ia akan mengelapnya hingga kinclong. Wajar, area itu adalah ladang hidupnya sebagai pekerja salon. Kebersihan adalah hal utama untuk menarik dan menempatkan pelanggan dalam situasi yang nyaman. Dengan demikian, pelanggan akan betah, sekali pun menunggu giliran dalam waktu yang cukup lama. Tentunya dengan tambahan beragam bacaan sebagai pengalih rasa bosan.Â
Mengecek peralatan dan perlengkapan salon adalah keharusan, terutama shampoo dan conditioner yang memang cepat habis dan harus diisi ulang. Lalu kembali menyusun dan merapikannya di meja khusus. Menyusun tata letak, itulah strategi agar pergerakannya selalu efektif. Tak lupa juga ia mengatur dan menduduki kursi salon berlapis kulit sintetis, semua harus senyaman mungkin, semua harus berjalan sempurna. Termasuk juga saat ia menyetel senyum terbaik di depan kaca, semata-mata untuk menjaga kesempurnaan penampilannya.
Jika semua ritual itu telah selesai, barulah ia membersihkan diri, lalu mengisi energinya dengan sekerat roti dan secangkir kopi hitam, sambil menjemur diri di bawah mentari pagi. Maka, ia akan terlihat sebagai bunga yang sedang mekar dengan wangi tubuhnya yang merebak. Memikat siapa pun untuk menyapa atau setidaknya melirik dan berbalas senyum. Tak lupa juga menebalkan telinga untuk cibiran yang mengatakannya sebagai banci salon.
Begitulah strategi kecilnya dalam bersosialisasi.
Â
~hers,210516,Â
dalam "Dendam Rani"
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H