Mohon tunggu...
Herlambang Wibowo
Herlambang Wibowo Mohon Tunggu... wiraswasta -

rumit mit mit mit tim tim tim timur -umit mit mit mit tim tim tim timu- __mit mit mit mit tim tim tim tim__ confused between what is and ain't __mit mit mit mit tim tim tim tim__ -umit mit mit mit tim tim tim timu- rumit mit mit mit tim tim tim timur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanggal Merah

15 Mei 2016   18:24 Diperbarui: 15 Mei 2016   18:43 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

TAHUN ke-16 di era millenium, bulan Mei semakin basah saat seekor gajah dikabarkan mati. Saat itu, hujan masih saja turun sejak pagi, sejak semalam, sejak kemarin, sejak lusa, barangkali sejak beberapa bulan ke belakang. Penghujan tahun ini memang datang terlambat, merontokkan bunga-bunga mangga agar tak jadi berbuah di musimnya. Atau terhambat oleh kemarau panjang. Faktanya, Desember kemarin yang gersang, telah banyak memunculkan dugaan bahwa periodik musim telah benar-benar berganti. Jika benar demikian, pengetahuan lokal tentang puncak penghujan di bulan berakhiran ber, seharusnya sudah mati.

Kematian, mungkin puncak dari segala kehilangan. Sementara kehilangan, tak lebih dari sekadar kabar yang dikaburkan angin. Sebentar saja menghilang, seperti halnya hujan yang pandai menyulap emosi. Barangkali duka adalah ilusi paling menonjol di antara ragam emosi. Nyatanya, kita tak pernah tahu siapa yang benar-benar menangis di saat hujan.

TRAGEDI besar, tengah berkecamuk di sebuah toko kecil. Dikabarkan, kemarahan seorang istri manager yang tak lain pemilik langsung perusahaan, telah mencapai puncak lantaran isu perselingkuhan suaminya. Isu ini, sebenarnya sudah lama terendus. Namun, terus menajam seiring hadirnya beragam fakta yang tak terbantahkan.

Emosinya meluap-luap, seperti Citarum yang melahap, menenggelamkan dan menyeret siapa pun di lintasannya. Sebuah keputusan tanpa pertimbangan pun diambil.

“Kiamat!”

Begitu yang ada di pikiran Risti setelah perusahaan membayarkan dua bulan gajinya, ditambah gaji pokok dan sedikit tunjangan.

Sejumlah uang yang lebih dari cukup itu, seharusnya bisa membuat bahagia dengan pola hidup sederhananya, jikasaja tak diiringi kabar kehilangan. Ia dan semua karyawan, baru saja dirumahkan lantaran perselingkuhan tersebut.

Dan bahu kanan yang mengais tas kecil berisi uang pesangonnya itu, terasa bagaikan sedang mengais beton puluhan kilo. Efeknya bahkan menjalar sampai ke ujung kaki yang terasa begitu berat untuk dilangkahkan.

Jika hujan adalah ranggasnya langit karena ketidaksanggupannya menahan beban. Maka, dengan sangat terpaksa ia harus menanggung dampak dari ranggasan tersebut. Langit sudah runtuh, wajarlah ia menyebutnya kiamat.

KEJADIAN ini sebenarnya sudah terduga dan dapat dipastikan. Sejak merebaknya isu sang Manager di beberapa bulan ke belakang, stabilitas perusahaan memang sudah goyah. Terlebih dengan terjadinya interogasi terhadap beberapa karyawan dan penerbitan ‘surat edaran’. Semuanya menjadi kabar yang benar-benar jelas bahwa perusahaan akan segera bubar atau dibubarkan.

Sebenarnya, perusahaan sengaja memberi tenggang waktu yang cukup, agar karyawan bisa bersiap. Mencari ladang pekerjaan lain atau sekadar menyiapkan  mental jika hal seperti ini terjadi, faktanya memang terjadi. Namun, apalah daya Risti dan karyawan lain yang menduduki kelas bawah dalam perusahaan. Tunduk dan patuh pada aturan serta rutinitas, hanya satu-satunya alasan agar bisa bertahan. Meski pada akhirnya tersingkir juga. Maka, pembenarannya adalah, bagaimana bisa mempersiapkan diri, mencari pekerjaan lain, jika waktu selalu habis atas nama loyalitas terhadap perusahaan?

Faktanya, waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk mengetahui isu-isu terdalam di perusahaannya. Selentingan, cibiran, bisik-bisik dan obrolan sepintas lalu tentang manager, perusahaan juga masa depan karyawan, tentunya bukan barang baru. Semua karyawan seolah berhak tahu, ingin tahu atau selalu mencari tahu perkembangan isu tersebut. Wajar, toh semuanya memiliki perasaan yang sama; menyangkut masa depan.

Obrolan berbisik antarkaryawan memang sering terjadi di sela waktu istirahat yang pendek. Selentingan dan cibiran pada atasan seringkali terlontar saat jam pulang. Tak jarang, mereka saling memojokkan dan menjatuhkan jika ada karyawan yang tak disukainya. Obrolan dan cibiran berlanjut sampai di rumah, bahkan semakin memanas, membakar ruang-ruang grup media sosial yang belum lama dibangun atas kepentingan ini. Mereka telah terlena dalam kenikmatan membicarakan orang lain, hingga lupa pada ancaman yang sebenarnya.

Hingga saat ini tiba, tak butuh waktu lama untuk mengubah tema. Obrolan grup pun sudah benar-benar beralih pada keluh-kesah dan nasib sendiri. Apa yang akan dilakukan setelah ini? Akan kerja di mana? Cukupkah pesangon yang diterima? Dan seterusnya. Barangkali, kompensasi dibayarkan perusahaan telah menutupi isu-isu panas. Meski masih ada bara-bara kecil, namun tak mungkin lagi meletup dan menyiptakan ledakan.

TAPI Risti beda. Ia yang tak mau terlibat lebih jauh pada isu tersebut, memilih berada di pihak yang netral. Tak menyalahkan siapa pun, tak menggunjingkan siapa pun. Waktu luangnya, bahkan habis untuk mengurus orang tuanya yang sakit, juga anaknya yang yatim. Meski beberapa kali terpaksa menyimak dan terlibat dalam obrolan, semata-mata hanya karena solidaritas antarkaryawan. Atau semacam strategi kecil, agar tak menjadi bahan obrolan lantas dikucilkan oleh para karyawan. Ada semacam kesadaran bahwa dalam situasi seperti ini, semua hal yang dianggap biasa, bisa berubah menjadi tak biasa.

Menunggu hujan reda, di sebuah kantin, makanan dan minuman ringan yang sudah tersaji hanya tersentuh oleh tatapannya. Bayangan orang tua tiba-tiba saja berkelebat, menjajahi piring nasinya. Sementara anaknya, semakin tenggelam dalam segelas teh hangat yang menguap tipis. Begitu juga bayang-bayang Ramadhan dan Lebaran yang menggantung di pelupuk mata, seolah ingin dilibatkan dalam pemikirannya. Hal lain yang tak kalah membebani, bagaimana ia menuntaskan janji pada anak semata wayangnya untuk menunggangi gajah di akhir pekan?

Kiranya, penanggulangan duka atas kehilangan yang menderanya, tak pernah sederhana seperti boikot Walikota terhadap kebun binatang.

***

~hers,150516

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun