Seumpama hukum aksi-reaksi, segala hal selalu ada sebab-musababnya. Namun, hukum tersebut kiranya tak lagi sahih di hadapan musibah yang menderanya. Tragedi aneh yang dialaminya, dengan mudah akan merontokkan beragam teori yang dibangun dengan akal sehat.
Ia tak pernah tahu, sejak kapan berada di pulau kecil tak berpenghuni ini. Tapi, bukan itu yang dipermasalahkannya sebagai musibah, melainkan, bagaimana ia bisa berada di tempat ini? Kiranya tak ada satu pun jawaban yang menurutnya logis untuk pertanyaan sederhana tersebut.
Sekeras apa pun ia mengingat, mengulang atau mengurai peristiwa dalam hidupnya, tak pernah didapati titik temu perihal keberadaannya kini. Sebagian ingatannya, seolah tergerus ombak, hanyut di bentangan samudera di depannya, lalu tenggelam dalam palung tak berdasar yang memisahkan antara kini dan lalu.
Seingatnya, telah bertahun-tahun ia melakukan hikikomori. Mengisolir diri dalam kamar, membangun dunianya melalui tebaran akun di berbagai media sosial. Termasuk memecah karakternya sebagai pseudon yang seringkali membuat kegaduhan dunianya sendiri. Ia adalah aktor, sekaligus sutradara dan penulis skenario. Setidaknya, itulah yang membuat hidup dan kehidupannya sedikit berwarna.
Tapi, peristiwa apa yang bisa menyeretnya ke tempat tak berpenghuni semacam ini? Â Pertanyaan misteri ini selalu saja menjadi batas setiapkali ia mengingat jalan hidupnya yang misterius.
Terdampar, bukanlah teori logis dalam ranah hikikomorinya yang tak logis. Bagaimana pun, dunia yang dikenalnya hanyalah bangunan imaji atas peta, gambar atau artikel yang ditanam dalam ruang pengetahuannya. Kakinya, bahkan tak pernah menjejak dan melangkah masuk pada bangunan pengetahuan tersebut. Karenanya, tak akan pernah ada alibi yang mengarahkannya pada proses terdampar.
Didamparkan? Mungkin saja. Identitas antagonisnya sebagai pseudon, kerap dianggap sebagai predator yang menimbulkan keresahan dan ancaman terhadap stabilitas. Meminimalisir ancaman, tentu bukan cara efektif untuk menjaga stabilitas, kecuali menghilangkan atau membinasakan. Dalam dunianya,unfriend, delete contact, blokir atau baned, serupa vonis mati yang kerap diterimanya.
Namun, musibahnya kini adalah nyata. Seharusnya ada peristiwa atau titi mangsa yang bisa dihubungkan dengan pelaku, motif, cara dan variabel lain. Sederhananya, manusia bodoh seperti apa yang kemudian membawa persoalan dunia maya ke dunia nyata? Manusia sakti mana yang mampu membongkar penyamarannya sebagai pseudon? Dan beragam pertanyaan tak masuk akal lain, seolah begitu sigap untuk melumat dan memuntahkan teori 'didamparkan' Â di hadapan tragedinya.
Kenyataannya, dunia yang ditempatinya kini memang sangat tidak masuk akal, sangat tidak logis. Bagaimana mungkin, ia bisa bertahan hidup tanpa persediaan makanan, tanpa rumah sebagai naungan, tanpa kepulan asap pengisi paru-parunya dan yang lebih utama tanpa gadget sebagai dunia sosialnya?
Kiranya, memang tak ada lagi yang lebih logis dari ketidaklogisan itu sendiri. Maka, ia mulai dirasuki oleh keyakinannya terhadap teori relativitas perihal ruang dan waktu, seperti artikel terakhir yang dibacanya. Akal pendeknya menduga, perangkat komputer dan website yang terakhir dibuka, telah menjelma sebagai mesin waktu dan teleportasi yang mendamparkannya di pulau ini.
Tapi, bagaimana ia bisa membuktikan kebenaran atas pembenarannya tersebut? Bukan hanya itu, untuk apa gunanya pembuktian tanpa adanya kesaksian? Untuk apa juga pembuktian jika ia tetap berada di pulau ini?