“Apa kupingmu tak terbakar?”
Tiba-tiba seseorang menegurku dengan nada yang sinis. Nenek. Ia berdiri menatapku dengan posisi tangan saling mengait di belakang. Wajahnya tampak seperti biasa, bersahaja. Namun, di balik roman mukanya yang biasa tersebut, ada kelebatan kilat yang menyala-nyala di matanya. Kilat yang siap disambarkan lewat kata-katanya yang berapi-api.
“Eh! Sudah dulu ya, aku dipanggil nenek!” alih-alih menyahutinya, aku malah sibuk mengakhiri percakapan telpon. Sedikit berbohong untuk menjaga kewibawaan. Ja’im.
“Sudah jadi orang hebat ya, sekarang?”
Kembali, Nenek berkata dengan sinis. Matanya yang tajam bak katana, sepertinya tak akan ragu untuk menebas kedua kakiku yang berselinjor di atas meja. Tentu saja aku langsung memperbaiki posisi dudukku. Seolah darah biruku kembali menjalar ke seluruh tubuh. Etika, table manner dan seribu satu petuah yang bersembunyi entah di mana, saat itu juga mendadak bermunculan di kepalaku.
“Eh, Nenek! Duduk, Nek!” balasku ringan.
“Sudah sebesar ini! Masih harus diperingatkan juga?”
Kata-kata yang bukan hanya membuatku mati kutu, tapi merupakan aba-aba bahwa percakapan yang teramat panjang baru saja dimulai. Percakapan satu arah, seperti membacakan cerita yang isinya telah kuhapal betul. Wejangan atau petuah, hingga perbandingan sejarah lintas generasi.
Namun, percakapan panjang yang baru saja dimulai dalam situasi seperti ini, selalu mampu menyentuh sisi melankolisku. Nenek pasti akan mengaitkannya dengan kisah tentang sepasang kekasih yang dimabuk cinta hingga akhirnya dirundung duka karena tak menuruti nasihat orang tua. Kisah yang tentu saja membuatku sedih, bagaimana pun aktor utama dalam kisah tersebut adalah kedua orang tuaku. Dan efek sedih lain sebagai akibat dari percakapan ini. Rencana sore ini gagal total sejak kedua orang aneh itu diam-diam pergi meninggalkanku.
Mungkin, itulah sisi lain dari sahabat yang tahu segalanya. Mereka bukan hanya ada saat diperlukan atau dibutuhkan, tetapi keberadaannya pun selalu pandai melihat kondisi. Mungkin, mereka sedang menganggap bahwa aku sedang butuh ruang untuk sendiri.
Sial!