Mohon tunggu...
Herlambang Wibowo
Herlambang Wibowo Mohon Tunggu... wiraswasta -

rumit mit mit mit tim tim tim timur -umit mit mit mit tim tim tim timu- __mit mit mit mit tim tim tim tim__ confused between what is and ain't __mit mit mit mit tim tim tim tim__ -umit mit mit mit tim tim tim timu- rumit mit mit mit tim tim tim timur

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cherry

20 Agustus 2015   10:03 Diperbarui: 20 Agustus 2015   10:03 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Cinta itu seperti cherry. Warna merah dengan bentuknya yang ranum, memang sangat memikat. Terlebih manis-kecut rasanya, nyaris tak ada pahit. Sama seperti kamu yang selalu terasa manis, meski seringkali berkata pahit dan tersenyum kecut.

Berdiri melamun di teras toko. Sedari tadi aku memikirkan kata-kata yang tepat saat memberikan bingkisan ini. Tentunya bukan kata-kata gombal seperti tadi. Tapi, hujan yang kembali merintik, terus-terusan mengganggu konsentrasiku.

Hujan ini benar-benar membuat gerah. Sebentar merintik, sebentar mereda. Bimbang, seperti keadaanku untuk memutuskan, apakah harus keluar dan berhujan-hujanan atau diam di tempat menunggu reda. Keduanya sama-sama memiliki konsekuensi yang tak menyenangkan. Padahal, waktu yang kujanjikan hanya tersisa 15 menit lagi.

Berkali-kali aku mengangkat tangan kiri searah tatapan mata. Jarum jam semakin kencang memompa adrenaline, menciptakan situasi paling menegangkan antara kecemasan dan penyesalan. Pikirku, seandainya saja aku parkir di tempat ini, tentu akan lebih mudah menembus hujan. Sebab jas hujan memang kusimpan di dalam bagasi. “Ahh! Benar-benar sial!”

Aku tahu, kamu akan marah semarah-marahnya jikasaja aku terlambat, apalagi sampai tak datang hanya gara-gara hujan. Kamu selalu punya seribu satu alasan untuk mematahkan alibi. Jika sudah begitu, sudah pasti aku diam tak berkutik.

Dan hujan semakin menderas.

Yang lebih sial lagi, telpon pintarku mati. Seharusnya, aku bisa dengan mudah mengabarimu lewat BBM, WA atau menelpon langsung. Tiba-tiba saja aku merasa aneh dan merasa sedang dikucilkan. Semua yang ada di sekitar, sepertinya sedang mengamati bahkan seperti mengolok-olokku. Beberapa pasangan duduk sambil bercanda. Bisa kubayangkan jika hujan malah membuat suasana menjadi lebih hangat. Beberapa lainnya lalu-lalang sambil menelpon, tentu saja mengabarkan tentang hujan. Hingga remaja imut di sampingku, sedari tadi sangat santai memandangi dan memainkan jemari di layar telponnya. Senyum dan cekikikannya, telak menjadikanku korban slapstick dalam kondisi seperti ini. Di jalanan, anak-anak di dalam mobil mengelapi embun di kaca samping, seperti isyarat ‘dadah’. Tak luput juga counter handphone di seberang jalan yang jelas-jelas mengiklankan powerbank terbaru dengan harga yang sangat terjangkau.

“Oh Tuhan! Bagaimana ceritanya hujan ini mampu menyulapku menjadi orang yang super sensitif?”

Untuk kali terakhir, aku menatap jam tangan, meski tak lagi kuperhatikan berapa waktu yang tersisa.

“Persetan!” tanpa pikir panjang, kuputuskan untuk berlari menuju parkiran di gedung seberang, meninggalkan tempat dan suasana yang sudah membuatku berkeringat. Padahal, sedari tadi angin dingin menerpaku secara berapi-api.

Sesampainya di tempatmu, seketika aku merasa bahwa keputusan tadi sepertinya tepat. Hujan memang tak reda. Aku, tentu saja basah kuyup. Tapi, demi ulang tahunnya, kuanggap saja semua ini sebagai pengorbanan. Maka, dengan dada membusung, kuketuk pintu kos yang kini membatasiku.

“Kamu! Ngapain hujan-hujanan? Mau sakit!”

“Aku kan sudah janji. Terpaksa hujan-hujanan, dari pada...”

“Daripada kumarahi!” potongnya. Ia sangat tahu perasaanku, meski kata-kata itu bukanlah lanjutannya. “Aku malah lebih marah lihat kamu seperti ini! Mikir! Jangan seperti anak kecil!” bentaknya.

“Ya sudah, aku salah!” langsung aku mengalah. Seketika aku menjadi konyol tersebab hujan dan hujan-hujanan, akibatnya aku akan selalu salah. Dan memang, tak ada alibi yang tepat untuk kekonyolan seperti ini. “Ini," kusodorkan bingkisan, "selamat ulang tahun!” Bahkan kata-kata yang telah dirancang selama perjalanan pun, sepertinya hanyut terbawa hujan.

Ia melihat bungkusan plastik, di dalamnya adalah bingkisan ulang tahun yang kubeli tadi. Wajahnya masih saja kecut, tapi tetap saja ia mengambilnya. Matanya melirik sinis ke arahku. Bingkisan berbungkus karton berlaminasi pun dikeluarkannya.

Pandangannya semakin sinis. Tangannya kemudian membuka bungkus tersebut. Ia masih saja menatapku, kali ini terasa lebih kejam. Hingga ia mengalihkan pandangan, “Lihat!” sentaknya.

Kedua tangannya lantas menyodorkan tart cherry yang seharusnya menjadi kue kesukaannya, tepat di dadaku. “Makan ini!”

Lewat kedua bola matanya, kali ini ia mempraktikkan ilmu hipnotis. Seketika aku terjatuh ke alam bawah sadar dan hanya akan sembuh saat mendengar tepukan atau diperintahkan sembuh. Kedua tanganku, menerima begitu saja tart cherry yang kulihat telah berubah bentuk menjadi bubur.

Aku benar-benar tersadar sesaat setelah terdengar bantingan pintu. Dan teriakan di dalam, mengabarkan kenyataan bahwa cherry yang kubawa ternyata berasa pahit.

“Selesai!”

 

~0~

hers,200815

Ilustrasi   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun