Sesampainya di tempatmu, seketika aku merasa bahwa keputusan tadi sepertinya tepat. Hujan memang tak reda. Aku, tentu saja basah kuyup. Tapi, demi ulang tahunnya, kuanggap saja semua ini sebagai pengorbanan. Maka, dengan dada membusung, kuketuk pintu kos yang kini membatasiku.
“Kamu! Ngapain hujan-hujanan? Mau sakit!”
“Aku kan sudah janji. Terpaksa hujan-hujanan, dari pada...”
“Daripada kumarahi!” potongnya. Ia sangat tahu perasaanku, meski kata-kata itu bukanlah lanjutannya. “Aku malah lebih marah lihat kamu seperti ini! Mikir! Jangan seperti anak kecil!” bentaknya.
“Ya sudah, aku salah!” langsung aku mengalah. Seketika aku menjadi konyol tersebab hujan dan hujan-hujanan, akibatnya aku akan selalu salah. Dan memang, tak ada alibi yang tepat untuk kekonyolan seperti ini. “Ini," kusodorkan bingkisan, "selamat ulang tahun!” Bahkan kata-kata yang telah dirancang selama perjalanan pun, sepertinya hanyut terbawa hujan.
Ia melihat bungkusan plastik, di dalamnya adalah bingkisan ulang tahun yang kubeli tadi. Wajahnya masih saja kecut, tapi tetap saja ia mengambilnya. Matanya melirik sinis ke arahku. Bingkisan berbungkus karton berlaminasi pun dikeluarkannya.
Pandangannya semakin sinis. Tangannya kemudian membuka bungkus tersebut. Ia masih saja menatapku, kali ini terasa lebih kejam. Hingga ia mengalihkan pandangan, “Lihat!” sentaknya.
Kedua tangannya lantas menyodorkan tart cherry yang seharusnya menjadi kue kesukaannya, tepat di dadaku. “Makan ini!”
Lewat kedua bola matanya, kali ini ia mempraktikkan ilmu hipnotis. Seketika aku terjatuh ke alam bawah sadar dan hanya akan sembuh saat mendengar tepukan atau diperintahkan sembuh. Kedua tanganku, menerima begitu saja tart cherry yang kulihat telah berubah bentuk menjadi bubur.
Aku benar-benar tersadar sesaat setelah terdengar bantingan pintu. Dan teriakan di dalam, mengabarkan kenyataan bahwa cherry yang kubawa ternyata berasa pahit.
“Selesai!”