"Untuk membawa kapal besar bangsa Indonesia menggapai cita-cita indonesia emas 2045 menjadi 5 besar ekonomi dunia." ucap Presiden Jokowi dalam sambutan di Djakarta Theater dilansir dari kanal YouTube Sekretariat Kabinet RI. Pak Jokowi mengucapkan cita-cita tersebut bukanlah tanpa perhitungan data dan fakta dilapangan, sudah banyak analisis dari berbagai institusi dalam negeri maupun luar negeri yang membicarakan dan menjelaskan hal ini. Â Banyak penjelasan mengapa cita-cita tersebut nampaknya realistis untuk diwujudkan, Salah satu alasannya adalah bonus demografi yang akan terjadi di Indonesia. Harapannya, ketika banyak penduduk Indonesia yang berusia produktif lebih banyak dibandingkan yang non produktif. Maka bonus demografi tersebut akan menjadi kendaraan utama dalam menggapai "cita-cita mulia" tersebut. Tetapi, kita hanya punya waktu sekitar 22 tahun untuk mempersiapkan amunisi menggapai ambisi besar bangsa kita. Pertanyaannya apakah itu waktu yang cukup atau terlalu tipis?
 2 Mata dalam Bonus demografi
 Bonus demografi adalah percepatan pertumbuhan ekonomi yang dimulai dengan perubahan struktur usia populasi suatu negara sebagai transisi dari tingkat kelahiran dan kematian yang tinggi ke rendah (Gribble dan Bremner, 2012). Dikutip dari laman web Kemenko Perekonomian, "Indonesia diproyeksikan akan mengalami bonus demografi pada tahun 2030 nanti, di mana angkatan kerja produktif akan mencapai 64% dari total penduduk. Pada saat itu, mayoritas penduduk Indonesia adalah generasi Z dan Milenial yang berusia 8 s.d. 39 tahun." Untuk memaksimalkan potensi tersebut, sebaiknya kita belajar banyak dari pengalaman negara-negara yang "gagal" dalam mengambil bonus tersebut. Negara tersebut adalah Brazil dan Afrika Selatan.  Brazil gagal memaksimalkan potensi tersebut karena resesi ekonomi yang melanda negerinya sedangkan Afrika Selatan gagal memanfaatkan peluang tersebut karena tingginya angka  pengganguran. Lantas apakah 2 masalah tersebut terjadi di Indonesia saat ini? Untuk saat ini, negara kita bisa dibilang masih "aman" dari ancaman resesi, karena kekuatan pertumbuhan ekonomi Indonesia sesuai dengan statement Bank Indonesia(BI) dari laman web nya, "Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat di tengah perlambatan ekonomi global." Disisi lain, dilaporan Badan Pusat Statistik(BPS) dinyatakan bahwa "Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2023 sebesar 5,45 persen, turun sebesar 0,38 persen poin dibandingkan dengan Februari 2022." Meskipun angka tersebut menurun, tetapi pengangguran merupakan masalah dan tugas para pemangku kebijakan di negeri ini untuk diselesaikan. Namun, apakah permasalahan di Indonesia hanya pengangguran saja? Sebelum kita jauh kesana, Satu hal penting yang perlu digarisbawahi dari pelajaran diatas adalah bonus demografi tidak akan membawa hal positif bagi negara apabila sumber daya manusia (SDM) negara tersebut tidak berkualitas dan berbobot.
 Sebuah Efek Domino yang mengerikan
 Setidaknya, ada 3 permasalahan utama yang harus diselesaikan dan dipikirkan terlebih dahulu solusinya oleh pemangku kebijakan di negeri ini dengan sebelum menggapai cita-cita tersebut. Pertama, masalah stunting di Indonesia.
 Stunting adalah suatu kondisi kekurangan gizi kronis yang terjadi pada saat periode kritis dari proses tumbuh dan kembang mulai janin (Ramdhani dkk, 2021). Menurut data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Prevalensi stunting di Indonesia per 2023 mencapai 21,6%. Artinya, 1 dari 5 anak yang lahir di Indonesia sekarang mengalami stunting/kurang gizi. Meskipun presentase tersebut turun dibandingkan tahun lalu, tetapi angka tersebut masih cukup besar. Dari angka tersebut, Indonesia menempatkan posisi ke-2 dikawasan Asia Tenggara dan Ke-5 di dunia. Dari sekian banyak efek negatif yang ditimbulkan, stunting berpotensi memperlambat perkembangan otak, hal ini amat memperhatinkan bilamana anak tersebut terus tumbuh dalam kondisi tersebut terutama ketika anak tersebut mengeyam pendidikan.
  Masalah yang kedua adalah kualitas pendidikan di Indonesia. Skor PISA (Programme for International Student Assessment) yang biasa digunakan para ahli untuk mengukur kualitas dan evaluasi kurikulum.
Skor rata-rata tes PISA Indonesia diantara para anggota OECD (The Organisation for Economic Cooperation and Development) terus mengalami penurunan di tiga tahun terakhir ini. Posisi Indonesia berada di peringkat 74 dari 79 negara. Untuk penilaian kemampuan matematika dan kemampuan sains, Indonesia berada di peringkat ke 73 dan ke 71 dari ke 79 negara partisipan (Ekowati et al., 2019). Itu hanya satu dari berbagai masalah pendidikan di Indonesia, lantas bagaimana bumi Pertiwi bisa menjadi negara maju bilamana pendidikan yang menjadi bagian terpenting malah belum semaksimal bahkan memperhatinkan?
 Adapun masalah ketiga adalah ketimpangan ekonomi. Biasanya para ahli mengindentifikasi sebuah ketimpangan ekonomi dengan Gini Ratio. Koefisien Gini (Gini Ratio) adalah salah satu ukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh (Laksani, 2010). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2023, Gini Ratio Indonesia sebesar 0,388%, angka tersebut naik dari 0,381% per September 2022. Meski dilihat cukup normal, tetapi ketimpangan ekonomi harus bisa ditekan agar kesenjangan sosial dan gap(selisih) nya tidak terlalu jauh. Sebagai contoh, kita bisa melihat negara Amerika Serikat hari ini, meski di gadang-gadang negara adidaya, tetapi disana banyak sekali tunawisma yang tidur di sarana dan prasarana umum, Hal ini juga berakibat terhadap kenaikan angka kriminalitas dinegara tersebut. Teman-teman dapat menjelajahi lebih dalam mengenai masalah ketimpangan ekonomi dan efek domino negatif yang menghantui negara Paman Sam tersebut.