Mengurus surat menyurat atau perizinan di kantor-kantor pelayanan publik miliki negara kesan nya Cuma satu. Lama.
Semangat untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat selalu ingin dikedepankan oleh para pimpinan di negeri ini. Walau pada kenyataannya dilapangan kita jarang menemui "pelayan publik" melayani kita dengan baik.
Baik dalam artian reaksi cepat, bersemangat, muka berseri dan memberikan solusi. Sebaliknya, lamban, tak bertenaga, bermuka masam, terkesan prosedural tetapi membuat bingung kita sebagai orang yang harusnya mendapatkan pelayanan. Kita bisa saja mendapatkan pelayanan yang baik, jika kita menempuh jalan dan cara yang berbeda. Anda pasti tahu maksud saya.
Memiliki urusan dengan pelayanan publik di negara ini, kita harus menyiapkan waktu minimal satu hari penuh untuk menyelesaikan urusan. Bahkan terkadang lebih. Saya baru mengerti, mengapa dalam Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan izin kepada pekerja untuk libur satu hari guna mengurus keperluan surat kependudukan.
Kita datang dipagi hari, PNS datang menjelang siang. Kadang tidak langsung dilayani, mereka melakukan semacam ritual terlebih dahulu. Ngobrol dengan sesama teman, membuat teh atau kopi, bahkan ada yang membaca koran terlebih dahulu. Pada akhirnya, kita dilayani siang.
Memang tidak semua PNS demikian. Ada beberapa orang yang rajin. Tetapi, para pimpinan nya, yang dimana kita butuh tandatangan nya, mereka datang lebih siang, atau bahkan mangkir dihari itu dengan alasan rapat di luar, atau ada kegiatan lain. Ujung nya kita harus kembali lagi sore atau esok hari.
Ketika kita berurusan dengan pelayanan publik, memang kita harus menyediakan kesabaran yang berlebih. Inilah kualitas Pegawai Negeri Sipil di negeri kita tercinta ini. Bukan rahasia umum lagi PNS telat, mangkir, berkegiatan di waktu-waktu jam kerja atau bahkan bolos tanpa alasan. PNS Bolos.
Akun resmi Kompasiana menulis : "Baru-baru ini Presiden Jokowi menekan Peraturan Pemerintah Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS). Salah satu aturan dalam PP tersebut adalah disiplin masuk dan jam kerja PNS.
Secara ringkas, PNS yang pernah dijatuhi hukuman disiplin dan mengulangi pelanggaran yang sifatnya sama, maka dapat dijatuhi jenis hukuman disiplin lebih berat dari hukuman terakhir..
Persoalannya adalah, apakah efektif hal semacam ini dapat diterapkan? Sandaran hukum dalam menegakkan peraturan adalah sosiologi hukum sebagai dasar sebuah kebijakan hukum. Agar penerapannya efektif. Sebuah hukum juga butuh sanksi yang jelas. Langkah yang diambil oleh pemerintahan Jokowi sudah sangat baik. Saya melihat ini adalah langkah serius pemerintah untuk menertibkan kerja-kerja PNS.
Hal ini, harus juga dibarengi dengan juklak dan juknis dari Peraturan Pemerintah (PP) tersebut. Jangan sampai, tidak ada kebersambungan antara PP dan pelaksanaan di lapangan. Harus dibuat sistem kontrol nya.
Perlu juga langakah lain yang harus diambil oleh pemerintah untuk memebenahi PNS di negeri ini. Bisa dimulai dari sistem perekrutan, pendidikan dasar, training-training yang lebih intens, pendidikan pra jabatan, assessment dan metode lainnya. Jika ini sudah dilakukan, artinya perlu evaluasi besar-besaran mengapa hal ini tidak mampu mendongkrak semangat PNS menjadi pelayana publik yang baik.
Jika alasan pendapatan atau gaji yang dianggap kecil, ini tidak bisa dianggap sebagai alasan yang masuk akal. Karena besaran gaji seberapapun yang diterima pegawai, tentu akan tetap dirasa kurang jika tidak ada kemampuan dari tiap individu untuk mengatur keuangannya. Perlu untuk adanya pendidikan financial dikalangan PNS. Atau ada upaya lain, misalnya adanya pendidikan bisnis bagi istri pegawai untuk mencukupi keuangan keluarga. Training pengelolaan keuangan keluarga. Pegawai belajar untuk berinvestasi dan mengelola keuangan dengan baik. Menurut saya, ini adalah tanggungjawab negara dalam memberikan pendidikan kepada PNS.
Wajar jika perusahaan membayar mahal seorang motivator dengan tujuan memberikan motivasi atau semangat kepada karyawan nya. Karena masalah motivasi kerja, adalah masalah yang jamak terjadi di dunia kerja.
Manusia sebenarnya tidak membutuhkan motivator, mereka bisa menyemangati dirinya sendiri. Bisa mengubah dirinya dari manusia yang tidak memiliki semangat, menjadi manusia yang bersemangat. Ketika mereka dapat memprogram alam bawah sadarnya, memiliki dream, goals dan tujuan yang jelas dalam hidup nya.
Kemungkinan besar, pada PNS tidak mengerti, tidak diajakan, bagaimana menciptakan dream, goals dan tujuan hidup. Hidup mereka hanya mengalir saja, bergantung pada niat awal mereka, (maaf) menggantungkan hidup pada negara.
Ini perlu dievaluasi oleh para pemimpin negeri ini. Terkadang hukuman bukan solusi, empati yang tinggi pada kehidupan mereka, para PNS, menjadi perlu untuk kita pertimbangkan. Mengapa mereka tidak bersemangat mengahadapi hidup, mungkin mereka berada di lingkungan yang tidak membuat mereka terpacu dalam semangat. Tidak membuat mereka progresif dan hidup dalam tantangan. Dalam membuat peraturan perundangan, sosiologi hukum perlu menjadi dasar pertimbangan. Ini yang harus kita pikirkan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H