Suara gemerisik dedaunan kering dari pepohonan yang tumbuh rapat itu memecahkan suasana kesunyian yang tak mampu diterjemahkan orang lain. Awan-awan mulai bergelombang bak biri-biri yang berlari di padang rumput nan gersang. Petang itu, Jur melangkahkan kakinya seperti setengah berani, ia salah satu warga kampung balik daun yang menjadi korban tentang kisah horor lelaki tua disebuah jendela.
Lelaki tua itu konon katanya adalah roh sesepuh kampung balik daun yang bergentayangan, mencari kitab suci. kabarnya kitabnya hilang bersamaan hilang nyawanya, begini kisahnya;
Pada malam bertabur bintang-gemitang dan rembulan yang malu-malu memancarkan cahayanya, kekelawar dengan riangnya menyanyikan siulan kegelapan, sementara nan jauh di sana, di seberang semak belukar auman suara anjing berbulu domba menyambut nyanyian kekelawar. Haliman, lelaki tua itu asyik membersihkan tubuhnya di sebuah sungai bermata air buaya yang jernih bukan kepalang. Haliman hendak menggosok giginya, satu colek odol boleh pinjam dari tetangganya sudah ia tuangkan, dan baru sadar ketika ia memasukan ujung sikat gigi ke dalam mulutnya yang langsung mengenai gusi, terasa nyeri!
"Aku sudah ompong, fuihh!" ucapnya sembari meludah. "fuihh... fuihh..." ludahnya berkali-kali, walau gagal gosok gigi, lumayan mulutnya terasa segar.
croottt... satu gumpalan cairan shampoo ia tuangkan ke atas telapak tangannya. kemudian diusapkan ke atas kepalanya, berbuih. tapi seperti ada yang kurang nyaman, buihnya tak bertahan lama, setelah 15 menit keramasan baru mengerti kepalanya botak. Aihhh... Hilman seperti lelaki pecundang dalam sebuah sarung, ia tak nampak gagah lagi seperti sediakala, tubuhnya sudah sangat ringkih sekali.
"Hmmm tubuhku sudah sangat lemah sekali," ucap Hilman dalam hati. Ia terpikir untuk mempelajari lagi beberapa jurus kanuragan yang pernah ia pelajari selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Hilman seperti mengerti apa yang harus ia lakukan untuk memeperoleh kebugaran tubuhnya.
Hilman pulang, membuka lemari lusuhnya, lalu mengambil sebuah kitab berkulit coklat dengan debu-debu menyelimuti. "Sudah berapa tahun aku melupakan kitab ini," lirihnya lagi. "Yah, sudah sepatutnya aku mempelajari kembali ilmu-ilmu ini."
Hilman membuka halaman pertama, alangkah terkejutnya ia saat membuka kitab itu sebuah gambar tempe goreng terpampang di halaman pertama, Tips Memasak Tempe crispi. Ia membuka halaman kedua, gambar tahu, tips membuat tahu isi toge. Hilman terdiam, dan tak sanggup membuka halaman berikutnya, pasti ia berprasangka halaman ketiga itu diisi dengan tips-tips memasak lagi, tapi ia berharap ada tips memasak opor ayam, atau sop ayam di halaman berikutnya.
"Ada yang sudah mencuri kitabku!" Hilman melangkahkan kakinya menuju sebuah jendela, ia tahu betul pasti pencuri itu masuk lewat jendela dan akan kembali lagi lewat jendala, maka dari itu ia akan selalu setia menunggu pencuri itu kembali di sebuah jendela sampai nyawanya bosan, lalu pergi tak kembali.
Begitulah kira-kira awal mula kisah lelaki tua di sebuah jendela.
Jur masih setia dalam jongkoknya di bawah pohon asem pinggir jalan. Ia berharap akan ada orang lewat dan bisa barengan melewati sebuah rumah tempat di mana lelaki tua itu berada. Ini seperti bermain judi dengan waktu, bermenit-menit tak ada satu orang pun yang lewat, hingga tupai-tupai yang memadu asmara di dahan pohon asem terasa terganggu atas kehadiran Jur diantara mereka. Jur memahami hal itu, tapi Jur juga berharap para tupai itu bisa memahami keadaan Jur.
Tapi tak lama kemudian, datanglah lelaki tua lewat dan ini seperti angin segar buat Jur dan tak ingin kecolongan Jur pun menyapa lelaki itu, "Pak mau lewat sana yah? bareng yuk," tanya Jur.
"Hmmm..." jawab lelaki itu singkat.
Jur memahami maksudnya, lelaki tua itu melanjutkan langkahnya dan Jur pun mengiringi. Selama perjalanan Jur dan lelaki tua itu hanya banyak diam, ingin sekali mencairkan suasana, dengan obrolan-obrolan ringan namun sulit semuanya begitu kaku. "Nggganu Pak pulang ke mana?" tanya Jur, berusaha membuka pembicaraan. Lelaki tua itu tak menjawab, Jur menelan ludah.
Ketika mereka hampir melewati rumah tua itu, Jur mempercepat langkahnya agar bisa lebih dekat di belakang puggung lelaki tua itu. Tepat dihadapan sebuah jendela, lelaki itu berhenti mendadak hingga Jur tak mampu menghindari tabrakan itu.
"Kenapa berhenti, Pak?" tanya Jur sedikit heran.
"Aku sudah sampai rumah," jawab lelaki tua itu.
Jur hanya bengong, kedua matanya membulat besar. Tak pikir panjang, Jur melepaskan kedua sendal jepinya, lalu lari sprint layaknya atlit lari 100 meter. Â THE END
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H