Mohon tunggu...
aris moza
aris moza Mohon Tunggu... Guru - menekuni dunia pendidikan sebab aku percaya dari sanalah mulanya segala keberhasilan itu bermula

seorang yang lantang lantung mencari arti dan makna dalam setiap langkah kecilnya. lalu bermimpi menjadi orang yang dikenal melalui karya-karyanya, bukan rupa, bukan harta, bukan panggkat atau jabatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menghargai dan Penghapusan Stigma

8 November 2019   15:15 Diperbarui: 8 November 2019   15:35 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mau bagaimana lagi ini diriku, kalau orang lain bisa menerima aku apa adanya. Kenapa aku harus seperti mereka.

Kata anak itu, dengan sedikit kata yang aku perbaiki.

Seandainya aku diposisimu, bagaimana ?

Jangan tidak akan kuat!
aku sudah merasakan sampai aku acuh tidak peduli lagi. Sehingga aku bisa menikmati hidup ini tanpa tekanan.

Kenapa kamu tidak yakin dengan orang-orang seperti aku ini bisa menghadapi itu, kalo aku di posisi kamu?

Meskipun orang-orang seperti kalian yang sering merendahkan kehidupan orang-orang seperti aku. Suka menstigma hanya karena berbeda karakter, hanya karena aku lebih suka menyediri, hanya karena aku sering tidak nyambung. lalu di olok-olokan, disudut-sudutkan menjadi bahan lelucun, menjadi badut-badut tanpa di bayar. tapi aku yakin separohnya saja kalau orang-orang seperti kalian, merasakan seperti aku, bisa bunuh diri.

Nada yang penuh tekanan emosional membuat aku kaget, sedikit terharu dan menyadari.

Sering kali kita sulit menerima orang yang berbeda. Mudah sekali kita menstigma orang dengan stigma negatif, kita merasa enggan bergaul dan berteman dengan mereka. Sekalinya mereka hadir yang ada malah menjadi bahan lelucun.
Kita yang selalu mencari tawa dengan cara menyudutkan orang-orang yang mempunyai gangguan seperti Ardi itu.

ah, lemah sekali kita, rasanya ketika kita mendapatkan tekanan seperti itu jiwa kita langsung berontak. beragam ekspresi marah, menangis, melawan, berkelahi. paling minimal menggrutu dalam hati.

Padahal orang-orang seperti Ardi itu bukan karena maunya tapi kehendak yang harus ia terima. Lalu kenapa kita enggan menerima kehendak Tuhan yang tersemat pada sosok Ardi-ardi yang lain?

Barangkali hadirnya mereka dalam lingkungan kita adalah wujud kasih Tuhan untuk menegur kita. sudahkah kita berbaik dengan ciptaannya? Masih sama-sama manusia yang bahkan tidak melukai kita sama sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun