Mohon tunggu...
Arya Dinatha
Arya Dinatha Mohon Tunggu... -

Pemimpi, Penulis yang tidak produktif, Pengembara hati..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Secangkir Cinta Untukmu

19 Januari 2011   06:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:25 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sudah menyiapkan teh panas dalam cangkir tanah untukmu, tapi kenapa kamu belum pulang kekasih? Jauh sebelum bunga adenium depan rumah berguguran aku sudah menyiapkan cinta untukmu dalam setiap helainya. Aku menitipkan jiwa padamu meski kau berbagi dengan yang lain, aku selalu menunggu-mu untuk mengetuk pintu rumahku suatu saat.. mungkin. Aku selalu percaya, selain aku yang setiap pagi menghangatkan tanganmu yang beku atau menjahitkan kancing kemejamu yang lepas. Tak terhitung senja yang aku habiskan untuk menantimu di teras ini, diantara degup jantung yang cemas mengharap sosokmu muncul di depanku. Senja turun, jingga mulai pudar, burung - burung kembali ke sarangnya. Semua gelap, semua dingin seakan mati. Tidak pernah aku menyakan padamu "apakah kau tak pernah tahu?" karena aku tahu engkau mengetahuinya.. cinta.. Jauh sebelum matamu menghujam luluh hatiku dan impian yang kita rencanakan sebelum musim berganti. Hujan yang membawa takdirku disini untuk bermuara di hatimu. Aku mau, peluk aku yang erat sampai aku tidur biar suatu ketika engkau tidak ada lagi disisiku dan aku hanya menganggapnya hanya mimpi. Karena hanya mimpi yang aku harapkan, cuma tidur panjang yang mengasuh lelah jiwaku, leleh hatiku mencari muara yang kau keringkan dengan belaian angin. Bukan dunia kecil bagiku, meski menghimpit semua rasa ini dan setiap butir impian jatuh diantara katup gigi menggigil dan beku tulang nisbi. Apa harus aku perlihatkan padamu bahawa kerinduan ini sudah penuh berjejal diantara vas bunga, diantara lemari dan meja riasku? Melayang berdesakan di langit - langit kamarku seperti bintang mati! Aku masih bisa merasakan deru nafasmu, aroma tubuh, lelehan peluh dan sperma yang kau bunuh sebelum menyentuh dinding rahimku penuh bara. Aku sedikitpun tak pernah merasa terbebani walau dosa itu ada dan kita coba samarkan dengan satu alasan yang menurutku bias..Cinta. Apakah selalu dan harus seperti itu sayangku? Cukuplah untuk menenangkan pikiranku bahwa kau benar adanya dan pernah ada antara aku dan kau mensiasati siang malam yang belarian.

* * * *

Begitulah aku menyelami hatimu perempuanku. Adalah hatiku, separuh jiwa dalam sayat kesakitan yang aku tuang dalam jejak petualanganku menantang kembara. Akupun pernah merasakan pedih luka itu.

* * * * Malam itu aku datang bersama desir angin bulan agustus. Mengetuk pintu melewati jarum jam yang sudah berdengkur. Melengkapi janji untuk tak melepaskan jiwamu atau mungkin hasrat yang mendorongku berkelebat kearah rumahmu. Entahlah..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun