Mohon tunggu...
Jefta Ramschie
Jefta Ramschie Mohon Tunggu... Lainnya - Cogito ergo sum

Sarjana Hukum || Penulis amatiran yang ingin mengembangkan keterampilan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengajukan Gugatan PTUN Sebagai Langkah Untuk Mengcounter Putusan MK, Emang Boleh?

2 Mei 2024   07:40 Diperbarui: 2 Mei 2024   10:42 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : cermin-dunia.github.io

       Belakangan ini kita mendengar isu bahwa salah satu partai besar di Indonesia mengajukan gugatan ke pengadilan PTUN, terkait dengan penetapan hasil pemilu capres dan cawapres terpilih tahun 2024. Pasti timbul pertanyaan dipikiran para kompasioner bahwa bisakah putusan PTUN menganulir penetapan hasil pemilu capres dan cawapres yang ditetapkan oleh KPU berdasarkan putusan MK? Begini penjelasannya.

       Kemarin kita telah menyaksikan secara bersama-sama bagaimana jalannya proses persidangan PHPU yang diajukan oleh dua pihak sekaligus. Begitu banyak dinamika yang terjadi, sampai-sampai kita sebagai masyarakat pun ikut menaruh perhatian penuh dan bahkan merasa tertarik untuk mempelajari hukum tata negara (sesuai dengan pengalaman, banyak kenalan saya yang mendadak ingin melanjutkan studi megambil fokus hukum tata negara karena merasa tertarik dengan permasalahan PHPU yang diadili oleh MK kemarin). Sebelum kita menilik terkait permasalah tersebut, alangkah baiknya kita mengetahui terkait dengan pengertian Mahkamah Konstitusi dan Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai berikut :

Mahkamah Konstitusi.
       Dalam struktur ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang bersama-sama dengan Mahkamah Agung memegang kekuasaan kehakiman, dalam tanggungjawabnya sebagai "ujung tombak" dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukum di Indonesia dan bertanggungjawab secara penuh kepada Presiden.
Mahkamah Konstitusi memiliki 4 kewenangan sebagaimana diatur Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar NRI 1945 jo. Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu :
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
b. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang.
c. Memutus pembubaran partai politik, dan
d. Memutus perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).

Pengadilan Tata Usaha Negara
.
       Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan lembaga peradilan yang dibentuk serta memiliki kompetensi absolut dalam hal menyelesaikan sengketa antara pemerintah/lembaga pemerintah dengan masyarakat, jika dalam praktiknya pemerintah melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku (onrechtmatige overheidsdaad). PTUN secara legalitas berada dibawah Mahkamah Agung.


Jika ditinjau dari perspektif Tata Usaha Negara, keputusan KPU tidak dapat dijadikan sebagai objek sengketa PTUN. Hal ini secara eksplisit tertuang dalam Pasal 2 Undang-undang No 9 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa :
"Tidak termasuk dalam pengertian keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan KPU baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah mengenai hasil pemilihan umum.

Implikasi Hukum Gugatan PTUN terhadap keabsahan Putusan PHPU Pilpres yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
       Putusan Mahkamah Konstitusi tidak megenal adanya upaya banding, kasasi dan PK seperti halnya putusan Mahkamah Agung. Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi bersifat "Final & Binding" artinya bersifat final dan mengikat yang berimplikasi pada keabsahan dari putusan MK itu sendiri, yang kemudian setelah diputuskan tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun. Hal ini sejalan dengan asas "erga omnes" yang mengatakan bahwa setiap putusan yang dikeluarkan oleh hakim tidak hanya mengikat para pihak yang berperkara, namun juga mengikat seluruh elemen masyarakat yang ada dalam suatu negara.
Merujuk pada penjelasan tersebut, jika ditarik kedalam konteks PHPU dan juga ditinjau dari perspektif kewenangan yang dimiliki, maka dapat disimpulkan bahwa secara normatif putusan PTUN tidak dapat memberikan dampak yang signifikan, apalagi sampai menganulir putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun