Setelah sekian lama tidak eksis di dunia Kompasiana (sejak era transisi tampilan) akhirnya saya mencoba kembali menulis. Melihat kembali lay out Kompasiana membuat saya rindu menulis. Tapi bingung mau nulis apa ya? Hehehe. Oke lah nulis yang ringan-ringan saja. Saya coba mengulas tentang film yang judulnya “The Secret”.
Saya ingat betul, saya dapat film bergenre dokumenter ini dari laptop teman saat kuliah. Isinya tentang Hukum Tarik-menarik dengan disertai wawancara sejumlah tokoh/pakar. Kakak saya yang lebih religius mengingatkan saya agar tidak menonton film itu karena ada unsur atheis. Tapi terlambar, dia bilang begitu saat saya sudah menontonnya hehehe.
Pada dasarnya, film ini mengajak penontonnya memahami makna Hukum Tarik-menarik dalam menggapai tujuan hidup masing-masing. Sebagai penguat, sejumlah narasumber dari berbagai latar belakang diberi ruang berstatement mendukung teori ini.
Sejauh yang saya tangkap, dalam film dijelaskan bahwa setiap manusia mempunyai gelombang otak yang mampu mengirimkan sinyal kepada universe (alam semesta). Jika kita terus-menerus berpikir tentang suatu tujuan dan mempersiapkan diri akan tujuan itu, maka kelak alam semesta akan membuat hal itu menjadi kenyataan sesuai yang kita pikirkan.
Sebagai contoh, diilustrasikan pula pengalaman seorang pria yang begitu merindukan sebuah mobil impian. Tiap hari dia memajang gambar mobil idamannya dan setiap pagi setelah bangun tidur, pria tersebut memasang gestur tubuh seolah-olah mengendarai mobil impiannya. Kebiasaan itu diterapkan bertahun-tahun dan setelah berjalan sekian tahun akhirnya pria tersebut benar-benar memiliki mobil.
Salah satu pakem teori tersebut adalah alam semesta membutuhkan waktu untuk memproses keinginan kita. Bahkan konsep ini disebut-sebut menjadi resep sukses sejumlah tokoh penting dunia.
Di sisi lain, teori ini menyebutkan adapun alasan suatu harapan bisa kandas tak sesuai keinginan kita adalah karena tanpa sadar dalam otak kita sedikit terbersit keinginan untuk mundur.
“Sedikit saja muncul keraguan maka gelombang kegagalan juga akan terkirim ke alam semesta yang (secara tidak langsung dan tanpa kita sadari) juga akan meng-cancel keinginan kita,” demikian ujar salah seorang narasumber dalam film.
Setelah menyaksikan film hingga selesai, saya berkesimpulan bahwa film ini memang benar mengandung unsur atheis. Pasalnya, film ini meniadakan kata Tuhan dan menggantinya dengan alam semesta. Selain itu, film “The Secret” juga mensugesti seseorang agar mengandalkan kekuatan pikirannya. “You are what you thing”. Itulah prinsipnya. Ya, memang tidak ada salahnya memiliki keyakinan teguh akan suatu tujuan. Tapi, kalau keyakinan itu membuat kita merasa berkuasa akan alam semesta dan mengaturnya, maka hampir pasti dia akan menjadi “Tuhan” atas dirinya sendiri.
Kalau boleh beropini terhadap film ini, sebenarnya “The Secret” mengadopsi konsep iman yang diajarkan dalam semua agama. Iman dan pengharapan akan Yang Maha Kuasa. Pencipta alam semesta ini. Selanjutnya, konsep iman itu dikemas secara duniawi dengan meniadakan faktor Tuhan. Entahlah, mungkin supaya lebih sains dan masuk akal padahal teori itu sendiri juga belum ada indikator pastinya (bisa saja seseorang berhasil karena faktor kerja keras dan bantuan Tuhan). Hal ini juga tidak bisa dibuktikan secara terbalik. Jadi kedua sisi sama-sama tidak ada tolak ukurnya. Tetapi, makna iman dalam koridor agama adalah mempercayai dan meyakini sesuatu yang tidak terlihat. Sebab ada tertulis dalam Kitab Suci Umat Kristiani “Berbahagialah yang tidak melihat namun percaya”.
Secara garis besarnya, benar-tidaknya teori yang diusung “The Secret” dikembalikan kepada pengalaman empirik masing-masing personal. Sebagai seorang yang (yaaah secara tidak langsung sempat mempertanyakan eksistensi Tuhan), saya pun sempat mengalami periode-periode atheis dalam hidup. Segala sesuatu saya pertimbangkan secara logis. Saya pun sempat menerapkan teori dalam film “The Secret” secara serius. Saat itu saya ingat betul sedang mencoba peruntungan di Jakarta melamar pekerjaan sebagai kameraman di salah satu stasiun televisi nasional. Saya tidak mengizinkan pikiran gagal masuk ke otak saya. Plus, bekal ilmu kameraman membuat saya makin pede dibanding para kandidat lain. Untuk teknis perlakuan kamera dan perawatan semua komponennya boleh diadu, karena saya memang sempat mendapat pelatihan khusus dari instansi berstandar ISO di Surabaya.
Singkat cerita, ternyata setelah menerapkan teori Tarik-menarik pun saya tetap gagal. Setelah menunggu 3 bulan luntang-lantung tanpa pekerjaan, akhirnya ada teman kuliah yang mengajak ikut seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS). Akhirnya, saya iseng mencoba ikut tes dan puji Tuhan sekarang sudah diterima sebagai PNS di Pemkot Surabaya. Padahal, sepanjang hidup saya sebelumnya, tidak pernah sedetik pun terbersit di pikiran ini akan bekerja sebagai abdi masyarakat.
Pengalaman saya ini setidaknya merupakan kontra dari teori yang diusung dalam “The Secret” yang jelas-jelas menurut saya mengandung unsur atheis. Dari pada percaya teori “The Secret” lebih baik saya percaya pada Tuhan. Sebab, berdasar pengalaman saya di atas, Tuhan mungkin tidak mengabulkan harapan saya bekerja di televisi swasta nasional. Tapi, Tuhan tahu apa yang terbaik buat saya. Jadi, jangan buru-buru kecewa kalau tujuan anda belum terrealisasi. Bisa jadi (tanpa kita bisa memahami), itu shortcut Tuhan menuju kondisi anda yang lebih baik.
Bagi kaum atheis, sayang sekali mereka berpikir alam semesta dalam kendali pikiran mereka. Apa yang terjadi adalah atas kehendak mereka. “Saya bisa hidup atau mati sekarang atau nanti terserah saya” demikian kutipan yang sering dijadikan dasar argumen para kaum atheis.
Tapi faktanya, hingga kini manusia (masih) tidak berdaya menghadapi kematian atau takdir. Manusia masih tidak berdaya menghadapi bencana alam, sebut saja Tsunami atau gempa bumi. Hal itu menunjukkan bahwa setangguh apa pikiran kita, manusia masih terlalu lemah bung. Dari kacamata Tuhan, kita semua hanyalah butiran debu yang ditiup saja akan lenyap. Mungkin saya akan menghargai pendapat kaum atheis kalau manusia bisa cheating death. Sejauh manusia pasti mati, maka manusia sejatinya tidak berkuasa atas hidup atau nyawa mereka.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H