Mohon tunggu...
jefri syahril
jefri syahril Mohon Tunggu... Freelancer - saya adalah seorang pencinta hukum dan filsafat

Prodeo- Probono

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Pasal Pergelandangan yang Tak Relevan Masuk Ranah Pidana

20 September 2019   12:45 Diperbarui: 20 September 2019   20:52 1347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TIDUR DI JPO - Seorang pengemis tertidur lelap di jembatan penyebarangan orang (JPO) Jalan Sudirman, Setia Budi Jakarta Selatan, Jumat (25/4/2014). Walaupun razia gelandangan pengemis (Gepeng) digalakkan tapi tidak membuat mereka jera. Warta Kota/henry lopulalan

Gelandangan adalah seseorang yang hidup dalam keadaan yang tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak memiliki pekerjaan tetap dan mengembara di tempat umum sehingga hidup tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat.

Di beberapa daerah gelandangan dianggap sebagai suatu permasalahan sosial. Salah satu upaya pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah dalam menanggulangi gelandangan yang berkeliaran di jalanan adalah melalui penertiban maupun pembinaan yang dilakukan oleh dinas sosial. Namun pada kenyataannya belum sepenuhnya mampu menanggulangi permasalahan gelandangan di Indonesia.

Pemerintah melalui dewan legislatif saat ini sedang melakukan penyusunan materi Rancangan Kitab Hukum Pidana (RKUHP). Yang mana RKUHP tersebut merupakan pembaharuan dari KUHP peninggalan kolonial Belanda.

Salah satu materi muatan dari RKUHP yang baru ini adalah, wacana penerapan pidana denda terhadap gelandangan. Hal ini memicu polemik di tengah masyarakat. Bagaimana mungkin gelandangan yang hidup miskin, teraniaya, dan lantung-lantang di jalanan mampu membayar pidana denda yang ditetapkan?

Sebenarnya permasalahan gelandangan bukan permasalahan baru di Indonesia. Gelandangan telah ada semenjak zaman kolonial Belanda. Salah satu faktor munculnya gelandangan pada masa ini adalah kondisi politik, sosial, dan ekonomi bangsa Indonesia, sebagai negeri jajahan. Mereka yang tersingkir akibat cacat tubuh, tidak mempunyai pekerjaan, serta tidak mempunyai rumah sebagai tempat bernaung akan menjadi gelandangan di jalanan.

Untuk mengatasi permasalahan gelandangan, pemerintah kolonial Belanda menerapkan peraturan hukum mengenai gelandangan. Di dalam Wetbook Van Strafrecht (WVS) yang selanjutnya setelah Indonesia merdeka diberlakukan sebagai KUHP diatur secara tegas mengenai gelandangan. Di dalam pasal 504 KUHP disebutkan bahwa: "Barang siapa dengan tidak mempunyai mata pencaharian, mengembara ke mana-mana, dihukum karena pelancongan, dengan kurungan selama-lamanya tiga bulan". 

Selanjutnya di dalam Rancangan Kitab Umum Hukum Pidana (RKUHP) yang baru, pemidanaan terhadap gelandangan masih dipertahankan dengan konsep pidana baru. Pada Pasal 432 tentang pergelandangan pada draft RKUHP tanggal 28 Agustus 2019 disebutkan bahwa; "Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan dipidana denda paling banyak kategori I" yang mana denda kategori I paling banyak sebesar 1 juta rupiah.

Sebenarnya kedua pasal di atas tidak relavan jika dikaitkan dengan konsep pemidanaan. Gelandangan bukanlah suatu bentuk perbuatan pidana, karena tidak ada maksud atau niat jahat di dalam perbuatan tersebut. Gelandangan sendiri murni permasalahan sosial dan ekonomi yang menjadi tanggung jawab pemerintah.

Gelandangan merupakan orang yang tersingkir dari kehidupan sosial, akibat masalah kemiskinan, pendidikan, dan sosial budaya. Menurut pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan secara tegas bahwa;

  • Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara
  • Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

Pemidanaan terhadap gelandangan jelas bertentangan pasal 34 UUD tersebut. Secara normatif, pembuatan peraturan perundang-undangan di bawah UUD tidak boleh bertentangan dengan UUD. Mengingat bahwa KUHP dibuat jauh sebelum indonesia merdeka dan menetapkan UUD 1945 sebagai dasar kontitusional negara, maka eksistensi pasal ini dapat bertahan sampai saat sekarang ini.

Selain itu sampai saat ini, tidak ada yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi mengenai pasal 504 KUHP yang dinilai bertentangan dengan pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945.

Namun dalam Rancangan Kitab Umum Hukum Pidana (RKUHP) yang baru, pemerintah masih mempertahankan eksistensi pasal mengenai gelandangan. Hal ini jelas menyalahi kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan seperti yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang secara eksplisit menyatakan bahwa pembentukan perundang-undangan yang secara hirarki berada di bawah Undang-Undang Dasar, tidak boleh bertentangan dengan Undang Undang Dasar.

Selain itu pasal 432 tentang pergelandangan pada draft RKUHP juga multiintrepetasi. Pasal ini membuka celah penangkapan terhadap, pengamen, tunawisma, dan kaum disabilitas psikososial yang terlantar.

Hal ini akan menimbulkan kekacauan penegakan hukum khususnya mengenai pergelandangan kedepannya. Seharusnya yang tepat untuk dikriminalisasi adalah mereka yang mengorganisir pergelandangan, bukan individu yang yang menjadi gelandangan. Perlu dicatat bahwa gelandangan sendiri merupakan bentuk kegagalan negara dalam pemenuhan kesejahteraan warga negaranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun