Tanah memiliki peranan yang sangat vital dalam keberlangsungan kehidupan di Bumi terutama bagi manusia, oleh sebab itu urusan pertanahan akan selalu menjadi topik bahasan yang tidak pernah selesai termasuk problem yang melingkupinya.Â
Di negara agraris seperti Indonesia, konflik agraria termasuk salah satu konflik yang paling berpotensi menimbulkan korban dan kerugian yang tidak sedikit, baik secara materil maupun imateril.Â
Berdasarkan data yang dirilis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2018 saja luas konflik tanah mencapai 807.177 hektare dengan didominasi sektor perkebunan sawit yakni mencapai 591.640 hektare. Lainnya antara lain adalah kehutanan (65 ribu hektare); pesisir (54 ribu hektare); dan pertambangan (49 ribu hektare).
Nah, bagaimana sebenarnya peran hukum dalam mengatasi konflik agraria di Indonesia?Â
secara regulasi, hukum pertanahan Indonesia sebenarnya sudah meng-counter segala potensi konflik yang mungkin terjadi, tapi secara prakteknya konflik pertanahan tidak bisa dihindari karena berbagai alasan.
Sebenarnya sederhana saja jika kita memiliki sertifikat hak milik (SHM) sebagai alas hak terkuat dan terpenuh seperti termaktub dalam pasal 20 ayat (1) uu no 5 tahun 1960. Tapi bagaimana jika tidak?Â
faktanya masih banyak warga Indonesia yang kurang memperhatikan status alas hak atas tanah yang dimilikinya sehingga menyebabkan potensi masalah dikemudian hari.
Terlepas dari benang kusut urusan birokrasi pertanahan, alangkah lebih bijak memang jika kita kembali mengecek status alas hak tanah yang kita kuasai dan kemudian memperjelas statusnya jika belum ada alas haknya agar potensi sengketa ke depan bisa diminimalkan.
Ada beberapa jenis hak yang melekat pada tanah di Indonesia antara lain Hak milik, Hak Pakai, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna usah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
sebagai salah satu contoh, bagaimana jika seorang warga negara Indonesia telah menempati sebidang tanah selama 20 tahun, apakah dia bisa memiliki sertifikat hak milik? jika merujuk pada PP No.24 tahun 1997 jawabannya bisa! namun ada proses panjang yang harus ditempuh untuk mengurusnya.