Dalam studi doktoral saya saat ini di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta, saya menulis sebuah topik untuk satu artikel Jurnal adalah terkait konsep air dalam masyarakat Sumba.
Masyarakat Sumba memiliki falsafah tentang air yang menjadi panduan dalam hidup sehari-hari yaitu Matawai Amahu pada Djara Hamu yang secara harafiah dapat diterjemahkan "mata air emas, Padang kuda yang indah."Â
Falsafah ini sudah ada sejak turun temurun dalam kehidupan sosial masyarakat Sumba bahkan sejak kedatangan leluhur mereka ke daratan Sumba. Falsafah inilah yang membentuk identitas masyarakat Sumba di mana air dipandang sebagai pangkal dari segala kehidupan.Â
Dari falsafah ini, saya teringat akan Tales, seorang filsuf Yunani yang dikenal sebagai filsuf air. Ia kira-kira menekankan demikian bahwa air adalah sumber dari segala kehidupan di mana air ada di atas langit, di tanah, dan di bawah tanah. Semua memerlukan dan butuh air!
Air menjadi Sumber kehidupan dan bahkan air adalah kehidupan itu sendiri. Ia memberikan kesuburan dan perkembangan biakan. Dalam tradisi masyarakat Sumba, air perlu dijaga karena dari airlah semua kehidupan bermula.
Masyarakat Sumba tahu bagaimana air harus dijaga dengan tidak menebang pohon dengan sembarangan. Bahkan, air diyakini memiliki semacam "roh" yang melindungi sehingga ia harus dilindungi. Perlakuan yang tidak baik pada air berarti sedang merencanakan keburukan relasi antara alam dan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Penebangan hutan secara sembarangan menimbulkan kerugian dan bahkan Kematian yang ditimbulkan oleh kekeringan dan juga banjir kala hujan (hal ini nampak dalam kejadian badai Seroja yang melanda Sumba Timur pada tahun 2021 lalu di mana bendungan Kambaniru hancur akibat banjir).
Fakta menyedihkan saat ini adalah hadirnya perusahaan gula PT. Sumba Manis yang yang merupakan anak perusahaan PT. Djarum. Kehadiran pabrik tersebut memang menunjukkan adanya investor yang menanamkan modal dan menyerap tenaga kerja masyarakat lokal. Namun, kehadirannya dapat menimbulkan kerusakan alam yang berkepanjangan.
Perusahaan tersebut telah menguasai ribuan hektar lahan dan juga menguasai tanah yang tadinya merupakan hutan lindung yang menjadi Sumber air dan melindungi air untuk dijadikan lahan perkebunan tebu.
Dari amatan saya terhadap kehadiran pabrik gula, saya menemukan dampak positif dan negatif.
 Dampak PositifÂ
- Terbukanya lapangan pekerjaan
Kehadiran pambrik memberikan peluang kepada putra-putri daerah untuk mendapatkan pekerjaan. Selama ini, banyak orang muda pergi merantau ke luar pulau seperti Bali (paling banyak), Jawa, Jakarta, dsb.Â
Mereka meninggalkan kampung halaman demi mencari pekerjaan karena di Sumba tidak ada lapangan pekerjaan. Karena itu, kehadiran pabrik tersebut dapat menjadi alternatif bagi pemuda-pemudi Sumba untuk tidak meninggalkan kampung halaman.
- Meningkatkan Pendapatan DaerahÂ
Tidak dapat dipungkiri, kehadiran pabrik gula dapat menambah pendapatan daerah sehingga Sumba dapat keluar dari kategori daerah termiskin.
Selama ini, NTT merupakan salah satu kategori propinsi termiskin di Indonesia sehingga tidak heran banyak terjadi perdagangan manusia.
Dari kedua dampak positif, terdapat dampak negatif yang menjadi perhatian pemerintah setempat.
Dampak NegatifÂ
- Kerusakan HutanÂ
Perusahaan menguasai tanah masyarakat adat bahkan tanah yang diyakini oleh masyarakat adat sebagai Sumber kehidupan, yaitu air. Hutan dilindungi oleh masyarakat adat karena falsafah Matawai Amahu pada Djara Hamu yaitu mata air emas Padang kuda yang indah sebagai pemberi kehidupan.
Masyarakat lokal tahu bagaimana memperlakukan air dengan baik di mana air dipandang sebagai saudara yang menjadi pangkal dari kehidupan.
Bahkan, masyarakat adat Sumba tidak sembarangan menebang hutan. Jika hendak menebang pohon untuk pembangunan rumah, diperlukan ritual dalam keyakinan Marapu guna mendapatkan ijin. Jika dalam ritual terdapat pesan tidak boleh menebang pohon, maka nita tersebut akan diurungkan.Â
Jadi, kehadiran pabrik gula memiliki dampak kerusakan lingkungan yang berkepanjangan bahkan kerusakan tersebut akan dialami oleh generasi berikutnya.
- Kesusahan Air
Air semakin menjauh akibat perilaku keserakahan kaum kapitalis. Air yang tadinya dianggap sebagai saudara yang seharusnya hidup berdampingan, kini menjauh bagaikan seorang asing. Dari keterasingan tersebut memunculkan permusuhan di mana air yang tadinya menjadi sumber kehidupan kini menjadi sumber kematian.Â
Air tidak lagi diperlakukan sebagai saudara yang dekat akibat keserakahan untuk kepentingan kelompok elit kapitalis. Air yang tadi dikenal sebagai mata air emas kini menjadi racun. Kehadiran pabrik gula Sumba Manis mengubah air emas menjadi air pahit.
- Hilangnya pertanian hetero kulturalÂ
Penguasaan lahan masyarakat adat menimbulkan gagalnya panen pertanian masyarakat seperti sawah, jagung, sayur-sayuran, kacang, dan tanaman pertanian lainnya.Â
Alasannya adalah air difokuskan pada perkebunan tebu milik perusahaan gula. Bahkan, masyarakat lokal tidak bisa menanam tebu untuk suplai tebu ke perusahaan gula. Hal ini menunjukkan penguasaan lahan oleh perusahaan untuk kepentingannya dan petani lokal hanya menjadi penonton.
Masyarakat tidak diedukasi bagaimana seharusnya menjadi petani tebu dan hasilnya dapat dijual kepada perusahaan. Masyarakat hanya menjadi pekerja kebun perusahaan dan tidak menjadi tuan atas tanahnya sendiri.
Dari amatan saya, hal ini tidak memihak pada kebutuhan masyarakat lemah bahkan cenderung menunjukkan sikap yang tidak memanusiakan manusia dengan upah yang rendah.Â
Ayah saya sempat dikontrak selama 2 bulan untuk mengangkut tebu milik perusahaan dengan jam kerja yang tidak manusia. Siang malam kerja namun gaji Rp.3 jt/bulan untuk 2 orang sopir. Ketika sakit tidak ditanggung dan perusahaan melimpahkan kepada vendor yang mengontrak truk yang dioperasikan oleh ayah saya.
- Hewan peliharaan tidak bebas lagi dilepas di PadangÂ
Umumnya masyarakat Sumba melepaskan hewan peliharaan mereka seperti kuda, sapi, kerbau dilepas secara bebas di Padang. Namun karena kehadiran pabrik gula, lahan yang tadinya adalah padang dan hutan untuk hewan kini telah beralih fungsi menjadi perkebunan tebu.
Bahkan hewan-hewan pun kesulitan air minum. Hewan-hewan memerlukan air untuk menjaga stamina dan kesuburan mereka, kini air telah menjauh dari merekaÂ
Saran saya kepada pemerintah Sumba Timur secara khusus adalah pertama, perlu dibuatkan regulasi yang jelas terhadap investor agar penguasaan lahan patut memperhatikan dampak kerusakan lingkungan.
Kedua, pemerintah perlu memperhatikan kearifan lokal yang memandang air sebagai saudara sehingga ia diperlakukan dengan baik.
Ketiga, tegakkan kembali falsafah Matawai Amahu pada Djara Hamu sebagai pondasi dasar dalam memperlakukan air sebagai sumber kehidupan.
Keempat, pemerintah perlu mengundang tokoh adat dan tokoh-tokoh lintas agama untuk membicarakan kajian teologis terkait air.
Keempat, pemerintah tidak boleh berfokus pada satu sektor (pabrik gula) untuk peningkatan pendapatan daerah, namun juga perlu kembangkan sektor pariwisata, pertanian, perkebunan, peternakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Mari lindungi air!
Air adalah sumber kehidupan, air adalah kehidupan itu sendiri, dan air adalah saudara kita yang dekat yang ada di dalam diri kita yang perlu dijaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H