Lagi-lagi sambil kukur-kukur, saya menyahut. "Iyo yo Den, jan-jane aku sing kleru yo".
(Lagi-lagi, sambil garuk-garuk kepala, saya menyahut, "Iya ya Den, mungkin saja saya yang keliru ya.")
Dengan wajah masih kelihatan mangkel, Den Sus beringsut, "Ora ming jan-jane. Ning kowe kuwi nyoto kleru. Wis, aku arep mulih. Arep ngeleb sawah dihisik. Assalamualaikum."
(Dengan wajah masih cemberut, Den Sus beringsut, "nggak hanya mungkin, tetai kamu ini jelas keliru. Sudah, saya mau pulang. Mau mengairi sawah dulu. Assalamualaikum.")
Segera saya menjawab, "Waalaikum salam wr.wb, suwun semprotane yo Den."
(Segera saya menjawab, "Waalaikum salam wr.wb, smaksih omelannya ya  Den.")
Dari kejauhan Densus kembali menjawab, "Sak uni-unimu".
Pelan pelan saya bangkit sambil membatin. Ternyata, Densus dikampungkku itu seperti DENSUS 88 beneran. Saya hanya melontarkan dua-tiga peluru pertanyaan, dia balik memberondong jawaban pakai M16. Tretetetetetetetetetetet. Pantesan panggilannya Densus. Dari pihak lawan hanya melontarkan satu dua peluru dari pistol rakitan, mbalesnya sak kayange diberondong habis-habisan.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H