Indonesia akan mengadakan pesta demokrasi nasional pada Februari 2024 mendatang, agenda yang dilakukan sudah pasti tentang pemilihan nahkoda kebangsaan yang dalam hal ini senantiasa menjadi topik hangat di segala lapisan masyarakat Indonesia itu sendiri, khusunya pemilihan Presiden atau Kepala Negara.
Pemilihan Presiden tentu punya tempat tertinggi dalam pembahasan pemilu, karena memang posisi ini adalah yang paling strategis untuk di persaingkan, orang nomer 1 istilahnya.
Pemiihihan presiden dengan bungkusan pesta demokraksi nasional tentu sudah melambangkan betapa megahnya persaingan di posisi ini, dan wajar saja perdebatannya memang nomer 1 juga dalam pembahasan pesta demokrasi.
Menyoal tentang pesta demokrasi tentu tidak terlepas dengan dinamika politik yang erat dan sangat manis untuk dibahas tentunya. Soal manisnya politik memang tidak semua lidah dapat merasakannya, terlebih kepada masyarakat kelas menengah kebawah.
Sebuah kewajaran dalam sebuah demokrasi bahwa masyarakat menengah kebawah tidak merasakan manisnya berpolitik karena “settingan” awalnya dari mekanisme ini memang tidak diperuntukkan untuk mereka.
Dalam sebuah demokrasi narasi kerakyatan tentunya menjadi senjata yang paling utama dan “mustajab” bagi para pihak yang berperang disana. Dalam kacamata poltik rakyat dalam hal ini tentunya menyakut sebuah individu masyarakat yang dalam hal ini sah menjadi rakyat setelah mereka sudah masuk usia 18 tahun atau sudah bisa menyumbangkan suaranya dalam pemilihan umum.
Dari usia diatas penulis ingin sedikit menyinggung bagaimana rata-rata usia awal tersebut individu biasanya berada di dalam bangku perkuliahan, setidaknya secara gambaran umum yang bisa diberikan cetak tebal yaitu Kampus.
Individu yang menempuh perkuliahan atau dalam hal ini biasa disebut mahasiswa setidak-tidaknya akan memilih seorang kepala Negara sebanyak 1 kali dalam masa baktinya di kampus (4-7 tahun).
Sangat wajar jika dalam hal yang pertama seseorang tentu mencari jati dirinya terlebih dahulu, setidaknya untuk hal yang baru ini. Ahli racik strategi pemenangan tentunya bukan sembarang orang, hal demikian sudah barang tentu diketahui oleh mereka. Sampel yang kredible tersebut mungkin saja menjadi alasan kenapa mereka menjadikan kampus sebagai salah satu arena politik.
Tentang sebuah arena politik bisa kita lihat dengan jelas kampus menjadi salah satunya, setidaknya itu yang kita sadari sekarang. Berbagai pihak ada yang pro ada pula yang kontra dengan kondisi “politik masuk kampus” ini, namun ada juga yang mengamati isu ini dengan tidak peduli pro atau kontranya.
Untuk yang pro mungkin dalam hal ini “jagoan” politiknya mungkin sedang atau telah menetapkan kampus sebagai venue dia untuk berkampanye, dan untuk yang kontra bisajadi jagoan dia tidak menetapkan kampus sebagai arenanya. Penulis mungkin meninggalkan beberapa alasan lain dari pihak pro dan kontra, namun menurut penulis 2 alasan tersebut merupakan yang paling realitis untuk kasus ini.
Dua pihak yang berseteru tentunya sudah sering kita lihat atau dengarkan sendiri argumentasinya, sebuah simulasi politik praktis. Dalam tulisan ini penulis tidak akan membahas oratoris dan poin-poin argumentasi kedua belah pihak tersebut, melainkan sebuah narasi dari sudut pandang lain dari penonton setia pesta demokrasi.
Disni kita akan melihat sebenarnya kampus adalah arena politik atau kampus dalam hal ini bukanlah sebuah arena, tapi salah satu pihak yang bertarung juga?. Kampus masuk politik mungkin itu poin yang akan kita bahas dalam tulisan kali ini.
Kampus masuk politik.
Sebuah topic diskusi yang baik menurut penulis jika kita membahas keikutsertaan kampus dalam kancah politik. Bukan tanpa alasan penulis memunculkan premis ini, semua hal ini didasari oleh beberapa kejadian belakangan ini.
Untuk beberapa kejadian bisa kita lihat bagaimana sebuah kampus memfasilitasi salah satu paslon dalam bentuk kunjungan. Jika kit abaca dari beberapa informasi awal mungkin saja tertera bahwa hal tersebut merupakan kunjungan akademis, namun kita tidak memerlukan stamina berpikir yang banyak untuk tahu bahwa itu merupakan agenda politik.
Kampus sebagai fasilitator poltik ini tentunya bagi beberapa pihak bukanlah hal yang biasa saja. Pihak mahasiswa yang tidak setuju kampus terkontaminasi oleh politik mungkin akan menolak lansung politisi ini untuk masuk, yang mendukung tentu akan sebaliknya. Kampus mungkin tahu hal-hal demikian tentang aspirasi dan isu politik di kalangan mahasiswa.
Pihak kampus bisa jadi menolak para politisi atau mungkin mendukungnya, namun kedua hal itu tentu tidak baik untuk masa depan kampus. Jika dalam hal ini kampus menolak mungkin hal yang didapatkannya hanya sekedar “respect” dari mahasiswanya, namun dalam hal lain pada kedepannya tentuk akan berpengaruh pada kampus itu sendiri karena hanya mereka ini yang nantinya akan menjadi pemangku kebijakan atau “calon bos“ mereka nanti.
Di sisi sebaliknya jika kampus mendukung salah satu paslon, tentu ini menjadi tugas tambahan juga bagi mereka contohnya tugas klarifikasi, doktrinisasi, dan pemetaan suara mahasiswa nya, belum lagi tentang peraturan-peraturan yang mesti diakali jika ingin mendukung salah satu paslon, tentu ini bukan opsi yang baik dan mereka terlalu pintar untuk memilih opsi ini.
Dari yang penulis analisis tentang pergerakan kampus dalam momentum ini adalah posisi yang diambil kampus di dalam arena. Kampus di arena perpolitkan kali ini akan menjadi subjek yang bernama “Kampus”, kenapa tidak berubah? jika bisa menjadi kampus, buat apa berubah menjadi 01, 02, 03, mungkin itu jawabannya.
Dari simulasi dialogis tersebut kita tangkap bahwa kampus memang akan menjadi kampus sebagai opsi “pasti menang” pada setiap pemilu. Kampus tidak menunjukkan penolakan sekaligus tidak menunjukan keberpihakan, bukan netral hanya saja mereka tidak berada di dua posisi tersebut.
Jika mereka tetap diam menjadi kampus, maka selanjutnya posisi mereka akan aman. Kampus tidak akan dikucilkan oleh Pemimpin Negara karena menolak mereka sebelum nantinya terpilih, juga tidak menguji keberuntungannya dengan mendukung salah satu pihak yang belum tentu menang, sangat beresiko.
Seperti yang kita saksikan kampus akan memfasilitasi semua paslon untuk datang tanpa undangan, dengan catatan atas nama kampus dukungan tidak akan diberikan. Sebuah jalan pintar dari kampus yang mungkin belum dipahami oleh sebagian besar pihak yang mengatakan bahwa kampus mendukung salah satu paslon, kampus tidak turut campur dalam hal ini.
Ironi dari pembahasan kita diatas tentunya tanpa disadari yang membawa politik ke dalam kampus adalah kita, mahasiswa itu sendiri. Betapa tidak dikatakan demikian dari bentuk penolakan salah satu paslon merupakan bentuk politk praktis itu sendiri, sedangkan bagi yang mendukung mungkin mereka selangkah lebih sadar dibandingkan dari yang mengkritisi pihak kampus.
Dari kacamata mahasiswa yang menikmati romansa sandiwara pesta demokrasi ini penulis melihat dengan jelas bahwa politik ini memang suatu hal yang tidak sesimple menolak kampanye dikampus. selama masa kampanye ini berlansung, beberapa mahasiswa mengambil kesempatan untuk berandil di dalam perpolitikan di Indonesia.
Kaum idealis mungkin akan menolak dan memberikan doktrin bahwa kita sedang berada di dalam lingkaran yang berbahaya jika membiarkan hal ini terjadi. Untuk kaum realistis dia akan masuk untuk mengambil kesempatan mengamankan masa depannya. Semua bentuk atau contoh kasus diatas sama-sama merupakan bentuk politik praktis, hanya saja buku bacaan politiknya saja yang berbeda.
Untuk refleksi mungkin kita secara individu perlu memperbanyak literasi politik dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi banyak hal untuk beberapa waktu kedepan. Penulis dalam hal ini juga tentunya tidak menutup kemungkinan bahwa isi dari tulisan ini sebenarnya seratus persen salah, hanya saja ini merupakan salah satu bentuk dari kontribusi dan pernyataan pendapat perihal fenomena poltik yang terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H