Kata remaja atau adolescence berasal dari bahasa Latin, adolescentia, yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Sesuai dengan namanya, pada masa remaja mulai didapati perkembangan organ seksual dan karakteristik seksual sekunder, aspek kognitif, emosi, sosial, serta moral dalam peralihannya dari masa anak-anak menuju dewasa.Â
Pada saat seorang individu melalui masa remajanya, yakni saat berusia 12—21 tahun, muncul hasrat untuk mencoba hal-hal baru dan melepaskan diri dari dominansi orang tua mereka. Seiring dengan perkembangan organ reproduksi dan aktifnya hormon seksual, remaja mulai memiliki ketertarikan kepada lawan jenis dan keinginan untuk berpacaran.
Akan tetapi, di Indonesia banyak terjadi perilaku pacaran yang tidak sehat, baik secara fisik maupun psikis, atau biasa dikenal dengan dating violence. Kekerasan emosional, verbal, pemerkosaan, bahkan pembunuhan ini dapat ditemui pada pasangan yang sebelumnya mengaku saling menyayangi.Â
Di Tangerang, misalnya, laki-laki berusia 18 tahun dengan inisial YP memerkosa dan menganiaya kekasihnya yang masih berusia 16 tahun karena tidak mau bertanggung jawab atas kehamilannya. Pemerkosaan lainnya juga dialami oleh seorang perempuan 16 tahun berinisial PU.Â
Ia diperkosa oleh kekasihnya sendiri, yakni seorang laki- laki yang telah berusia 21 tahun. Sejak 1 Januari hingga 16 Maret 2021, terhitung ada 426 kasus kekerasan seksual dari 1.008 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dan anak, menurut Asisten Seputi Perumusan Kebijaakan Perlindungan Hak Perempuan Ali Khasan dalam diskusi daring yang diadakan pada Jumat, 19 Maret 2021.Â
Berdasarkan data yang dimiliki oleh Komnas Perempuan yang ditampilkan pada Catatan Tahunan (CATAHU) 2021, diketahui bahwa sebanyak 79% dari 8.234 kasus kekerasan yang ditangani oleh lembaga tersebut merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga/ranah personal (KDRT/RP). Jadi, terdapat 6.480 kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan dan dilakukan oleh orang yang mereka cintai, baik suami maupun kekasih mereka.
Mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Jihan Rahmsa dan Herdina Endrijati, korban kekerasan saat berpacaran ini memiliki kaitan dengan sikap asertivitas atau ketegasan yang mereka miliki.Â
Ditemukan kecenderungan peningkatan potensi kasus kekerasan dalam berpacaran bila individu tersebut memiliki sikap asertivitas yang rendah dan berlaku pula sebaliknya. Remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri rentan dimanipulasi oleh orang yang ia percayai, salah satunya oleh pasangannya. Gaslighting merupakan perilaku yang dapat mempengaruhi seseorang untuk meragukan penilaian dan persepsinya sendiri.Â
Pada akhirnya, korban dari gaslighting akan menuruti keinginan dari pelaku, mempertanyakan persepsinya sendiri, dan memiliki ketergantungan pada pelaku dari gaslighting tersebut. Tidak mudah bagi remaja yang belum memiliki prinsip untuk melawan orang yang ia percayai, yaitu kekasihnya.Â
Di saat yang bersamaan, ada banyak orang yang melakukan gaslighting untuk memiliki kuasa atas orang lain dan memanipulasinya untuk mengikuti seluruh keinginan dari pelaku, tak terkecuali hubungan seksual.
Hal tersebut tentunya dapat membawa remaja menuju perilaku seks pranikah. Namun, hubungan seksual sebelum nikah yang tidak aman dan tanpa persetujuan dari kedua belah pihak berpotensi membawa masalah, seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan gangguan fisik, psikis, serta seksual pada salah satu pihak. Tindak kekerasan secara fisik, psikis, dan seksual ini memiliki dampak, baik jangka pendek maupun jangka panjang.Â
Mulai dari gejala depresi, seperti bingung, malu, cemas, tidak percaya kepada diri sendiri dan orang lain, serta keinginan untuk bunuh diri, serta luka fisik yang dialami oleh remaja dapat diperoleh dari pasangannya sendiri. Namun, korban dari kekerasan dalam pacaran sulit untuk menyadari dan melaporkannya karena rasa sayang yang dimilikinya terhadap pasangan mereka. Akhirnya, sulit untuk mendeteksi kasus kekerasan dalam pacaran kecuali sudah berada di fase yang parah atau yang terlihat secara kasatmata. Oleh karena itu, diperlukan edukasi hubungan seksual yang aman dan bertanggung jawab sejak dini.
Risiko hubungan seks pranikah dan cara berhubungan seksual yang aman perlu ditanamkan kepada setiap remaja. Diperlukan keterbukaan dari orang tua sehingga informasi tersebut dapat diperoleh remaja dengan tepat sehingga mereka mampu memahami tanggung jawab dan dapat melakukan interaksi interpersonal dengan seluruh temannya secara hormat.Â
Tidak hanya itu, peran dari orang tua dan teman dalam mendeteksi hubungan pacaran yang manipulatif juga sangat diperlukan sehingga dapat mencegah remaja dalam mengalami kekerasan secara psikis, fisik, dan seksual. Maka dari itu, penulis akan mengunggah informasi tentang kekerasan dalam pacaran di media koran Kompasiana dan media sosial yang banyak digunakan oleh remaja, yakni Instagram dan Line.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H