Berbicara tentang Tuhan tidak pernah ada habisnya karena selalu menarik diulik dari segala sisi. Hal yang selalu "gayeng" diperdebatkan adalah apakah Tuhan itu ada? Apakah Tuhan sudah mati? Atau apakah Tuhan merupakan proyeksi manusia? Apabila kita bertanya lebih dalam lagi, sebenarnya yang menciptakan manusia itu Tuhan atau justru manusialah yang menciptakan Tuhan?
Tema yang diberikan, membuat saya kembali teringat tahun 2014 ketika saya mengadakan bedah film Gods Not Dead. Film ini berkisah tentang perdebatan antara mahasiswa yang alim dengan dosen yang atheis mengenai apakah Tuhan itu ada atau tidak.
Di akhir film, ditutup dengan tjiamik ketika mahasiswa tersebut berhasil mematahkan argumen dari dosennya yakni "kalau Tuhan itu tidak ada kenapa kita harus bersusah payah membuktikan keberadaan Tuhan? Ketika kita berusaha membuktikan keberadaan Tuhan artinya Tuhan itu ada. Kalau tidak ada berarti kita tidak perlu membuktikan keberadaan Tuhan".
Kecewa Kepada Tuhan
Setiap pilihan hidup selalu ada alasan dan setiap pilihan hidup selalu ada konsekuensinya. Kita tidak boleh menghakimi apa yang menjadi pilihan hidup orang lain. Pun ketika melihat film tersebut, nalar dan emosi kita dipermainkan sehingga kita bisa merefleksikan sejauh mana pilihan hidup memengaruhi kehidupan kita? Apakah kita bangga atau justru menyesal atas pilihan-pilihan hidup yang kita pilih?
Dosen di dalam film Gods Not Dead pada awalnya dia seorang yang taat namun dalam perjalanan hidupnya dia kecewa kepada Tuhan karena apa yang dimilikinya diambil semua oleh Tuhan. Oleh sebab itu dia menjadi seorang atheis dan menyebarkan pahamnya kepada para mahasiswa untuk mengingkari iman yang dipilih mahasiswanya.
Melihat film tersebut, saya diingatkan kembali bahwa seringkali kita kecewa kepada Tuhan karena Tuhan seperti tidak ada atau tidak hadir dalam permasalahan hidup kita. Terlebih pada masa pandemi covid 19 ini, seakan Tuhan itu tidak peduli kepada kehidupan kita semua. Kita mungkin kehilangan hal-hal yang paling berharga dan cintai seperti orang tua, saudara kandung, pasangan hidup, atau pacar bahkan sahabat kita yang harus meninggal karena terjangkit covid 19. Ditambah lagi perekonomian keluarga kita hancur karena orang tua kita harus kehilangan pekerjaan atau usaha orang tua kita bangkrut karena perekonomian dunia hancur.
Pada titik ini, seringkali respon pertama yang kita lakukan adalah menyalahkan orang lain, menyalahkan keadaan atau bahkan menyalahkan Tuhan atas penderitaan yang kita alami. Tentu hal ini manusiawi karena kita memiliki sisi emosi. Namun kita tidak boleh berlarut lebih dalam atas emosi dan keadaan yang kita alami. Kita harus mengambil jarak atau jeda atas realita hidup yang kita alami. Agar kita bisa berfikir jernih dan obyektif atas apa yang kita alami.
Percaya Atas Pemeliharaan Tuhan
Kita boleh kecewa dan kita boleh marah pada Tuhan namun jangan lama-lama. Luapkan semua kekecewaan, kemarahan dan permasalahan hidup kita melalui doa. Tuhan tahu setiap permasalahan yang kita alami, Tuhan pasti mendengar seluruh doa kita karena Tuhan itu ada. Apapun yang terjadi atas hidup kita saat ini, Tuhan mengizinkannya. Jangan takut dan jangan khawatir, nikmati dan syukuri setiap proses yang kita alami. Hal ini sebagai penanda bahwa akan ada kenaikan level keimanan kita. Tetap percaya pemeliharaan Tuhan atas kehidupan kita itu nyata.
Tuhan mengizinkan keburukan yang kita alami pada saat pandami ini, artinya ada rencana yang lebih besar dan indah dimasa yang akan datang. Kita harus belajar melihat gambaran besar yang Tuhan sudah kerjakan. Sejak ada pandemi yang diikuti kebijakan lockdown diberbagai negara dan PPKM di Jawa dan Bali ini membuat bumi kembali beristirahat dan memulihkan dirinya sendiri. Bumi semakin membaik dengan bukti lapisan ozon yang selama ini menjadi ancaman untuk kesehatan manusia dan iklim mengalami penurunan 15 persen secara global. Artinya ada keseimbangan disini dan tentu saja akan baik dimasa kini dan yang akan datang. Jadi kita harus tetap percaya atas pemeliharaan Tuhan bukan hanya pada diri kita sebagai manusia tetapi alampun Tuhan juga pelihara.
Seringkali kita tidak bisa melihat gambaran secara utuh atas peristiwa apa yang kita alami karena kita terbiasa memikirkan hidup kita sendiri namun melupakan tempat dimana kita tinggali juga perlu kita rawat. Nalar dan iman kita seringkali tidak mampu memahami maksud Tuhan atas hidup kita. Bahkan seringkali antara nalar dan iman saling bertentangan. Kita sering mengutamakan nalar dan mengesampingkan iman namun kita juga sering beriman tanpa menggunakan nalar padahal keduanya harus bersinergi.
Kita beriman bukan berarti memberi persetujuan pada rumusan dogma. Kita beriman bukan berserah pada seperangkat dogma yang diwariskan. Sebaliknya, beriman merupakan sikap keberpihakan. Iman mengambil peran sebagai orientasi dan nalar sebagai alat eksekusi. Keduanya akan terus bergulat dalam proses dialektika yang panjang. Pada proses inilah iman akan menajamkan nalar karena Iman yang disertai nalar belum utuh, iman hanya utuh apabila seluruh aspek kehidupan manusia terlibat dan itu berarti bahwa nalarpun harus beriman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H