Mohon tunggu...
Jeffry Kurniawan
Jeffry Kurniawan Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pecandu Ilmu

Learn history, use history, make history.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kapitalisme Hijau, Dapatkah Ramah Dengan Lingkungan?

22 Agustus 2020   19:35 Diperbarui: 22 Agustus 2020   19:30 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapitalisme merupakan sistem yang hanya memiliki satu tujuan yaitu maksimalisasi laba dalam upaya akumulasi kapital dengan skala ekspansi yang selalu membesar dibanding sebelumnya, dan yang berusaha mengubah setiap hal di bumi menjadi komoditas yang bisa diberi harga.

Kapitalisme tidak pernah bisa mempunyai jiwa dan takkan pernah bisa "hijau". Kapitalisme tidak pernah bisa tinggal diam, tetapi dikendalikan untuk memanipulasi hasrat dan membangun dorongan agar terus tumbuh dan laku dijual.

Salah satu strateginya yaitu menjadikan moralitas Kapitalisme Hijau sebagai tren yang meluas dan menguntungkan. Korporasi pun saling berlomba satu sama lain untuk mencitrakan diri hijau dan punya tanggung jawab social seperti

  • Membeli dan memakai pakaian Gucci dengan hati tenang karena perusahaan ini turut melindungi hutan hujan dengan mengurangi pemakaian kertas.
  • Majalah Newsweek mengklaim bahwa korporasi-korporasi raksasa seperti Hewlett-Packard, Dell, Johnson & Johnson, Intel, dan IBM adalah lima perusahaan paling hijau pada 2009. Hal ini dikarenakan korporasi tersebut menggunakan sumber energi terbarukan, melaporkan emisi gas rumah kaca, serta secara resmi menerapkan kebijakan lingkungan.
  • Tesco, Coca-cola, dan Reckitt Benckiser menganggap bencana perubahan iklim dapat dihindari dengan 'menghijaukan' perilaku konsumen ketimbang menekan pertumbuhan ekonomi dan konsumerisme massa.

Korporat dengan ferakan hijaunya ini termasuk dalam tren konsumsi yang menyebabkan kenaikan tiada henti akan "pasar hijau" dari para "konsumen hijau". Semua penekanan di media dan iklan tentang konsumsi berkelanjutan ini telah menciptakan konsumen hijau yang merasa bahwa dengan membeli komoditas "berkelanjutan" mereka terus menjalankan gaya hidup konsumerisme dan merasa berbuat mulia. Akan tetapi, banyak produk yang disebut hijau tidak lebih baik dibanding produk sejenis yang bukan hijau.

Diciptakannya teknologi untuk konservasi, mengurangai pemakaian sumber daya, mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan, mengurangi bahan toksik dll bertujuan baik namun apabila kita analisis lebih dalam justru akan meningkatkan efisiensi dalam pemakaian energi dan sumber daya yang semakin meningkatkan ekspansi sistem perekonomian kapitalis secara keseluruhan dan hal inilah yang disebut Paradoks Jevons.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kapitalisme hijau sekalipun jika produk yang dihasilkannya memakai cara paling ramah lingkungan dan dirancang untuk mudah didaur ulang, tetap tidak menawarkan jalan keluar dari sistem yang mengharuskan bertumbuh secara eksponen dan dengan begitu terus meningkatkan penggunaan sumber daya alam, menimbulkan polusi kimiawi, lumpur limbah, sampah, dan banyak bahan berbahaya.

Oleh sebab itu hal yang paling kita butuhkan saat ini adalah perubahan relasi sosial antar komunitas, budaya dan perekonomian yang saling berhubungan satu sama lain sebagai manusia dan bagaimana kita berhubungan dengan bumi. Dengan kata lain yang kita butuhkan saat ini adalah revolusi ekologis.

Resume bab 5 dari buku Lingkungan Hidup dan Kapitalisme: Sebuah Pengantar karya Fred Magdoff dan John Bellamy Foster.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun