Mohon tunggu...
Jeffri Zuntak
Jeffri Zuntak Mohon Tunggu... lainnya -

Aktif di Studi hukum Properti Indonesia, Pemerhati Jokowi Basuki dengan perubahan-perubahannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Inilah Hidup, Si Pekerja Semut Hitam

10 Agustus 2013   13:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:28 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berjalan menyelusuri licinnya keramik marmer. Semut hitam kecil mengembara, ia mengarungi lautan mamer berwarna krem. Enam buah kaki berjalan cekatan dan sepasang antena untuk menandakan posisinya.
Pasrah, entah apa yang akan didapatkannya disana untuk dibawa pulang sebagai persedian makanan. Untuk Sang Ratu, bagian persembahan dari Pekerja seperti dia. "Apapun itu, bekerjalah bukan karena diri sendiri tapi bekerja untuk Ratu".Gumamnya.
Kali ini koloni tak akan pergi bersama-sama. Pekerja diutus kemana saja asalkan menemukan sesuatu yang dapat dimakan, disajikan juga membahagiakan Ratu tentunnya.Teringat disaat para tetua-tetua mereka dahulu selalu bergotong royong, apapun keadaanya selalu bersama "semua untuk bersama". Kini sudah berbeda, pasokan makanan susah didapat. Mengerahkan semua koloni untuk bersama tentunya memakan tenaga. Kalaupun mendapatkan makanan, kalau tidak?, laparpun bersama-sama.
"Pekerja lebih mementingkan koloni, koloni adalah pekerja" demikian kata Ratu. Ratu, Ibu para semut. Sebenarnya tak ada kelas-kelas yang membedakan semut. Hanya tugas dan fungsinya yang berbeda. Dihadapan Ratu semuanya adalah koloni.
Kebahagian terpancar ketika Ratu mengutus mereka para pekerja. Hingga hari bahagia itupun datang disaat kembalinya pekerja membawa makanan, bahan baku sarang, hingga souvenir dari rantau. Sangat berarti sekcil apapun yang dibawa Si Pekerja Semut hitam.
Perjalanan jauh dari sarang, harus ditempuh. Memakan waktu tentunya. Hingga Si Semut riang, pengembaraanya di marmer tidak sia-sia. Betapa terkejutnya, ia melihat banyaknya bahan makanan didepan matanya, ia melihat betapa ia akan bertemu Ratu untuk mempersembahkan itu semua. Ada Tubuh nyamuk, jatuh diatas marmer.
Ratusan nyamuk jatuh tersungkur, dari jenis egypty aides, malaria hingga entah apalah. Ahhh...tak terbayang betapa manisnya mereka itu. Meskipun Aneh, mereka dapar tersngkur lemas. Tak ada lagi kesombongan dari riuhnya kepakan sayapnya. Yang dulu Seakan mengejek si semut, saat diangkasa betapa bahagianya ia bisa melihat semut lebih kecil dari ukuran badannya. Setidaknya tampak lebih tidak berarti diantara hampran marmer.
Ngunggg eennngggg eeooonnnggg!! Menyambar semut, tapi Semut tetap merendah, hingga berharap suatu saat akan membawa gerombolan-gerombolan nyamuk itu kedalam sarangnya. Memamerkan kepada semua koloni kalo nyamuk dapat ia taklukkan.
Bukan mimpi, nyamuk-nyamuk yang tersungkur berteriak kesakitan. Si Semut pun tersenyum lebar mendengar ringkihannya. Betapa kegagahan itu berakhir juga. Kesombongan itu runtuh pula.
Sambil mengamati satu persatu, pertanyaan pun muncul, bagaimana ia dapat membawa kebanggan ini semua kepada koloni?. Sambil lalu, melihat-lihat kemungkinan cara apa yang terbaik mengangkut semua nyamuk-nyamuk nakal ini. Paling tidak itu umpatan para manusia yang telah membunuhnya.
Manusia, ya manusialah yang telah membunuhnya. Ketika dihadapkan pada pencipta, manusialah yang akan memenuhi neraka. Giliran manusia yang akan menyemut di neraka. Tapi, semut pun bertanya, "saya jugakah?". Bagaimana ia tidak bertanya, ia ikut dalam aksi pembunuhan nyamuk itu.
Kasihan, nyamuk-nyamuk mati hanya untuk mencari makan. Sedangkan Si Semut meperoleh berkah dari aksi biadap manusia. Sambil terisak dan tertatih, semut mengusap air mata. "INILAH HIDUP!!".
Hingga ia berpikir, kesombongan, keangkuhan apalagi keegoisan bukanlah suatu cara untuk dapat hidup. Tapi kerendah hatian, bersyukur dengan pekerjaan yan ada tanpa melihat keatas tentunya lebih melegakan hidup. Lebih baik mati terkubur meninggalkan kerendah hatian, daripada mati tenggelam oleh kecongkakan.
Si Semutpun berkesimpulan, ia tak dapat sendiri menikmati kebahagian ini. Karena kebanggan adalah milik bersama, milik keluarga bukan milik sendiri. Kebahagian bukan terlahir dari pikiran sendiri, namun dari setiap tetesan air mata orang-orang disekeliling kita.
Bahwa ia berarti karena untuk mereka. Maka tak berapa lama, ia menandakan setiap nyamuk itu, kemudian memanggil semua semut pekerja, membantunya, bahu membahu membawa kebanggan itu bersama demi untuk kehidupan koloni.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun