Terlantar, itulah kata yg tepat tatkala saya bepergian sendiri (solo) ke Raja Ampat kala itu.
Nekat karena sudah terbiasa main satu di Pulau Jawa, Raja Ampat ternyata berbeda. Keindahan Pulau Barat Papua itu memompa adrenalinku untuk segera kesana sendiri, tanpa mencari informasi yang akurat lebih dulu.
Tiba di Bandara Edward Osok Dominique, Sorong, pagi jam 6.30 WIT. Dengan semangat 45 saya langsung bertanya  kepada pengunjung yang sepertinya warga lokal (tadinya mau menanyakan petugas Bandara, ternyata susah dicari). Bandara ini merupakan akses tercepat menuju Raja Ampat, yang ditempuh dengan 8 jam perjalanan dari Jakarta, yang sebelumnya transit di Makasar.
Saya dianjurkan seorang wanita hitam manis agar menggunakan Ojek ke Pelabuhan Rakyat/Pelabuhan Sorong, lalu melanjutkan perjalanan dengan kapal ke Raja Ampat. "Naik ojek lebih cepat, daripada naik angkot kuning yang ngetem-ngetem, lama sampainya" kira-kira itulah omongan yang saya tangkap dari wanita manis itu.
15 menit motoran, kapal-kapal besar mulai kelihatan, di sepanjang jalan saya sibuk mengorek informasi dari bapak pengemudi ojek yang saya tumpangi. Menanyakan harga tiket, makan, hingga kebiasaan penduduk dan adat-istiadat. Dari hasil ngorek-ngorek informasi tersebut, jujur, saya tidak begitu paham, karena penyampaian bapak tukang ojek kurang jelas, sehingga harus ditebak maksud dari kalimat yang diucapkan.
Tiba di Pelabuhan Rakyat, saya langsung diturunkan di depan loket pembelian tiket. Pelabuhan Rakyat merupakan pelabuhan terbesar Sorong, dari sini kapal berangkat ke berbagai tujuan. Untuk tujuan Ke Raja Ampat Pelabuhan Rakyat menyediakan 2 kapal pagi itu. 1 kapal ke arah selatan yaitu pulau Misool, dan satu lagi ke arah Waisai.
Sementara berpikir mau ke Misool atau ke Waisai, saya berselanjar menanyakan mbah Gugel mengenai informasi tentang Raja Ampat. Saya duduk di bawah pohon kelapa sembari menikmati segelas aqua yang baru saya beli di warung samping loket seharga 5 ribu. Tak lama menikmati pemandangan laut, 4 orang laki-laki dewasa bertubuh besar dan bertato datang menghampiri. Mereka awalnya bertanya mengenai sesuatu hal kepada saya, tapi berhubung bahasanya tidak saya mengerti, saya hanya diam saja. Satu orang kemudian mendekat dan duduk di samping saya begitu dekat hingga bisa mencium napasnya bau alkohol.
Saya kemudian bergeser sedikit ke sebelah kanan, namun dia juga bergeser mendekati. Saya berdiri bermaksud menjauh dan menghindar, dia juga berdiri dan mengahmpiri sembari teman-temannya yang lain ikut mendekat. Saya berjalan ke warung yang masih tutup karna masih pagi berharap mereka tidak mengejar lagi. Namun dugaan saya salah karena justru mereka semakin penasaran. Saya menurunkan keril (tas gunung) bersiap untuk keadaan terburuk, yaitu berantem.
Saya melihat ke tanah mencari kayu atau batu sebagai alat untuk bertahan. Untung bagi saya saat itu  ada sesorang yang dateng yang mengerti bahasa Indonesia dengan baik. Dia menghampiri saya, ternyata dari tadi dia sudah melihat dari awal kejadian itu, lalu kemudian dia menjelaskan bahwa mereka itu sebenarny bukan berniat jahat, memang begitulah cara mereka mengajak seseorang untuk bergabung minum dengan mereka, minum dan mabok di jalanan memang sudah kebiasaan di sana.
"Mau jalan kemana juga blom jelas, eh... jurus mabok dah keluar", gumamku dalam hati.
Akhirnya saya putuskan untuk membeli tiket ke arah Misool karena kapal sudah mau berangkat dan kondisi psikologis sudah tidak nyaman. Kapal terakhir berangkat jam 12.00 WIT (belakangan saya tau ada 2 kali keberangkatan). Di dalam kapal saya berusaha mencari orang yang tujuannya sama, dengan maksud agar bisa berbagi informasi, biaya dan juga untuk sekadaf teman curhat.
Usaha mencari dan bertanya puluhan orang penumpang kapal ternyata sia-sia. Sebenarnya ada beberapa orang wisatawan dari pulau Jawa, tetapi mereka memilih berwisata dengan privat dan tidak mau ada yang mengganggu, saya pun maklum karena kelihatannya mereka satu keluarga, dan mungkin juga ada yang sedang bulan madu. Saya hanya mendapat informasi dari kru kapal agar nanti menginap di pulau Fafanlap dan bertanya kepada penduduk atau petugas home stay di sana agar mencari orang agar bisa nebeng naik kapal ke pulau-pulau di Raja Ampat, agar bisa berbagi uang sewa kapal, karena jika sewa kapal sangat mahal.
Kurang lebih 6 jam perjalanan tibalah saya di pulau Fafanlap. Pulau ini memiliki kira-kira 200 Kepala Keluarga (saya sempat menghitung sekitar 150an rumah), 1 SD, 1 SMP dan SMA. Semua penduduk bermata pencaharian utama sebagai nelayan, walaupun sebagian ada yang nyambi sebagai buruh perusahaan budidaya mutiara dan berjualan sembako.
Satu hari satu malam di pulau Fafalap, belum ada teman untuk menyewa kapal, begitu pun dengan orang yang mengizinkan nebeng ke kapalnya juga belum ada. Berniat untuk menyewa sendiri kapal, ternyata harganya gila brayyy.... paling murah 2jt untuk satu hari, itupun kapalnya belum tentu ada. "harus jual pertapakan nih di kampung klo seminggu di sini". Gerutuku. Semangat sudah mulai kendor, dan sudah tidak bergairah lagi. "Besok jika masih blom ada temen nyewa kapal atau yang mau ditebengin, lebih baik pulang" aku berencana malam itu.
Beruntung, dewi fortuna mengirimkan satu dewinya keesokan harinya, ada orang yang sepertinya pemilik kapal menghampiriku dan mempertemukanku dengan seorang wanita, yang datang dengan rombongan dari luar Papua. Berjalan ke dermaga sembari ngobrol, kami sepakat untuk berbagi dan patungan menyewa kapal, walaupun masih saja mahal, tapi sudahlah, emang gak ada pilihan lain. Akhirnya kita bisa menikmati keindahan Raja Ampat, mulai dari Bukit Harfat, Cristmas Tree hingga Bukit Love...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H