Mohon tunggu...
Jeff Malayu
Jeff Malayu Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Penulis

Manusia, makan nasi. 🗿

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Hilangnya Tanah Air Kita

28 Januari 2024   09:33 Diperbarui: 28 Januari 2024   09:36 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanah menjadi rebutan oleh berbagai kaum. Seberapapun banyak koleksi barang mewah yang dimiliki seseorang, masih belum setara nilainya dengan tanah. Sebagai aset, tanah pun dinilai menguntungkan dalam jangka panjang. Itu juga menjadi alasan mengapa suatu bangsa tega menjajah dan menindas bangsa lainnya, semata merebutkan lahan/tanah.

Untuk mengklaim bahwa tanah tersebut dimiliki individu atau lembaga, tentulah butuh pembuktian. Pembuktian itu tertulis diatas kertas materai yang dinamai sertifikat tanah. Terkadang, sertifikat pun masih belum cukup untuk dijadikan bukti disebabkan keganjilan dan tiada pihak bersangkutan memberi izin atas kepemilikan lahan tersebut. 

Banyak kasus pemalsuan sertifikat tanah oleh oknum yang disinyalir juga bagian pejabat/pemerintahan. Pemalsuan tersebut bahkan marak dilakukan dan korban adalah warga asli yang dimana tanah turun-temurun dari generasi, di jual tanpa sepengetahuan dan sepihak, orang yang membeli pun berasal dari luar daerah atau asing. 

Proses hukum yang tidak transparan dan bertele-tele, mengakibatkan sebagian korban putus asa dan terpaksa berat hati melepas kepemilikan tanah tersebut. Maka dari itu, Penulis akan menjelaskan hukum tanah secara ringkas. 

*Hak Kepemilikan Tanah

Dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi: 

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Jelas bahwa negara yang mengatur kepemilikan atas tanah, namun individu/kelompok juga dapat memiliki hak yang sama dengan persyaratan dan izin yang disahkan oleh negara.

Beberapa hak atas tanah, antara lain hak milik (hak guna usaha), hak guna bangunan, hak pakai (hak sewa), hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan. Oleh karena itu, diperlukannya izin atas hak-hak tersebut. Pihak yang bersangkutan (individu/kelompok), yang dimana ingin menggunakan hak tersebut, haruslah memiliki bukti yang sah dan mendapati izin negara sesuai dengan UUD dan diatur dalam pasal 19 ayat (1) UU no. 5 tahun 1960 tentang UUPA yang berbunyi:

"Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan Pemerintah".

*Mengenai Perlindungan Hak Tanah

Beragam kebudayaan Indonesia, menjadikan suatu peradaban yang kaya dan adat-istiadat pun dijadikan pegangan hidup. Persemakmuran yang tercipta, juga berasal dari tanah yang mereka pijak. Begitu pun dengan norma-norma masyarakat setempat yang senantiasa berbudi luhur dan menjaga kesopanan. Layaknya pepatah:

"Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung".

Peribahasa inilah yang selalu menjadi ingatan bagi setiap individu untuk senantiasa bersikap sopan di kampung orang dan menjaga perilaku ketika bertamu di rumah orang. Namun, berkembangnya teknologi dan budaya kebarat-baratan, telah mengikis norma-norma yang berlaku dan beragam oknum telah membuat keputusan sepihak seperti menjual tanah adat yang dimana tanah tersebut merupakan milik suatu masyarakat setempat dan tidak boleh diganggu gugat. 

Pulau Rempang adalah contoh. Lihatlah mereka yang perlahan terusir dari tanah nenek moyangnya, semata demi keuntungan orang asing. Bagaimana dengan negara? Apakah negara mampu memberi solusi dan menjamin bahwa investor asing akan memberi keuntungan dan segala persemakmuran itu digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat? 

Penulis meragukan itu semua. Bukannya membantu, pemerintah seakan menambah beban. Ditambah proses yang tidak transparan dan tindakan otoriter, menambah rasa benci dalam pikiran masyarakat. Bagaimana caranya melindungi tanah kalau kita meminta perlindungan dengan Oligarki dan Nepotism. 

*Kesimpulan Penulis

Dari sejarah, kita bisa menilai bagaimana tanah Republik ini dijajah dan juga siapa pendukung atas tindakan tercela tersebut. Tak lain dan tak bukan adalah penduduknya sendiri. Beberapa oknum yang berkuasa, sudah lumrah menyalahgunakan kuasa. Lihatlah masyarakat Rempang, siapa dalang dibalik peristiwa itu. Hukum nampak sebagai kata saja karena penegak hukum mayoritas hanya belajar tentang hukum, bukan mengamalkan ilmu hukum yang sebenarnya. 

Yang bisa kita lakukan, hanyalah menunggu waktu dan konflik yang besar-besaran. Chaos adalah kunci perubahan saat ini. Revolusi dimasa depan akan tercipta dan generasi itu, harus dimatangkan pola pikirnya dari sekarang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun