Sudah tak asing lagi kata banjir di Republik Indonesia. Ibukota juga tiap tahun dilanda banjir dan bisa dibilang banjir merupakan tradisi diseluruh penjuru nusantara.
Kerugian secara materi dan timbulnya korban jiwa selalu bertambah tiap tahun. Padatnya jumlah penduduk, kurangnya disiplin dalam menjaga kebersihan menjadikan faktor alasan yang dilontarkan oleh pejabat setempat, yang dimana alasan itu juga disebabkan oleh ketidaksanggupan mereka (pemerintah) dalam mengatur lingkungan dan urusan sosial masyarakatnya sendiri.
Padahal kita semua tau, banjir terjadi karena tanah tidak mampu meresap air dengan baik sehingga air yang alirannya dari dataran tinggi (hulu), mengalir dan berkumpul di dataran rendah. Ditambah curah hujan menyebabkan air meluap melewati bantaran sungai dan menggenangi pemukiman setempat.Â
Melansir pada sebuah artikel, Detik.com
"Di tahun 1973 luas hutan di Provinsi Jambi ini tercatat lebih kurang mencapai 3,4 juta hektare. Namun pada 2023, hutan di Provinsi Jambi tinggal 922.891 hektare atau hilang seluas 2,5 juta atau 73 persen," kata Direktur KKI Warsi Adi Junedi, Sabtu (13/1/2024).Â
2024 adalah sejarah baru bagi Provinsi Jambi. Jelas terjadi bukan karena alam saja melainkan oleh kerakusan oknum yang menyalahgunakan kuasa. Ribuan hektar sawah rusak dan sebagian besar rumah terendam banjir, mengakibatkan perekonomian setempat memburuk.Â
Adat nepotisme dan feodalisme yang turun temurun dilingkungan elit pemerintah yang dimana ikatan itu selalu dijunjung dan dipertahankan. Fungsi dari peran (status) tidak beradaptasi sesuai alam, dikarenakan status tersebut didapatkan bukan karena kemampuan dan usaha, melainkan garis keturunan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H