Mohon tunggu...
Jeff Sinaga
Jeff Sinaga Mohon Tunggu... Guru - Suka menulis, olahraga dan berpikir

pendidik, ju-jitsan, learn to stay humble and live to give good impact. :-) follow twitter: @Jef7naga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Uang Lapak, Bukti Premanisme Masih Eksis

4 Maret 2018   23:39 Diperbarui: 4 Maret 2018   23:43 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tadi pagi sekitar jam 8 saya pergi ke salah satu pasar di kota Binjai, pasar Tapiv namanya. Saat itu saya menggunakan jasa ojek online demi pertimbangan efisiensi. Jadi otak tak lg cemas memikirkan kondisi kendaraan di lahan parkir liar yang membudaya di provinsi ini.

Sewaktu menelusuri jalan masuk ke pasar tampak seorang pedagang baru membuka dagangannya. Dia bersuara nyaring menjajakan dagangannya demi menarik perhatian massa yg lalu-lalang di depannya.

Ketepatan yang dijualnya adalah barang kebutuhan primer. Waktu itu saya tertarik melihatnya, mendekati si penjual dan mulai memilih mana-mana yang cocok. Proses pilah-pilih cukup lama karena produknya berbagai merk dengan harga pukul rata.

Pembeli mulai berdatangan sementara si penjual masih sibuk bersuara nyaring sambil mengeluarkan isi dagangannya dari karung goni yang dibelakangnya. Saat semuanya asyik dengan kegiatan memilih, bertanya bahkan menawar tiba-tiba muncul seorang pria berlengan panjang dan bertopi rajut memeras si penjual. Konon dia disebut-sebut sebagai preman pasar.

"Sini uang lapak" kata preman itu.

"Uang apa bang? Tadi uda dikasih ke tukang parkir itu" jawab si penjual sambil nunjuk dan memanggil si juru parkir yang dimaksud.

Si premannya ngotot kalo uang itu beda lagi sama dia. Kemudian si jurpar datang menghampiri si preman. Dia berbahasa daerah yang kebetulan saya paham sedikit karena pernah tinggal didaerah tersebut selama 4 bulan.

"Tadi uda dikasih samaku 20ribu untuk uang lapak" kata si jurpar.

"Itu beda lagi" jawab si preman.

Kemudian si jurpar sepertinya mundur tak bertanggung jawab lebih lanjut membela si penjual.

Tinggallah si penjual dan si preman saling berargumen. Si penjual ngotot sudah tak punya kewajiban membayar uang lapak karena sudah diberikan kepada si juru parkir. Sementara si preman ngotot harus kasih lagi ke dia uang lapaknya.

Berangsur-angsur pembeli pergi karena merasa tidak nyaman. Apalagi saat si preman bentak-bentak si penjual sambil menendang barang dagangannya. Si preman memaksanya untuk menutup jualannya. Saat itu si penjual agaknya melawan dengan bilang, "sabarlah bang, jangan ditendang-tendang juga barang dagangan itu. kalo rusak siapa mau beli?"

Rupanya kalimat itu malah membuat si preman makin kasar secara verbal dan melototin si penjual. Mungkin ada kekuatan dahsyat saat dia melotot dengan muka digarang-garangin, ternyata tidak.

Hanya tinggal saya dan satu emak-emak yang kemudian malah makin memanas-manaskan situasi mendesak si penjual membayarkan saja uang lapak itu.

Saya sebenarnya tidak nyaman, malah geram dengan situasi pemerasan seperti itu. Namun logika saya menghalangi untuk mengintervensi apalagi membela si penjual. Alasannya karena kemungkinan mereka adalah kumpulan preman yang sudah terorganisir. Kalo saya intervensi maka jumlah korban akan bertambah jadi dua. Kalo sudah begitu nanti anak istri saya yang khawatir.

Saya juga mengamati sekeliling TKP sambil mandangin sekilas satu persatu orang yang melihat kejadian itu. Dugaan saya beberapa diantara mereka itu siluman preman. Mereka mengamati pergerakan si penjual. Buktinya saat kejadian itu usai karena akhirnya si penjual membujuk si preman dengan meminta maaf, orang2 yang tiba2 muncul tadi dengan si preman juga turut hilang.

Sementara si juru parkir tadi malah bertanya pakai bahasa daerah ke si preman tadi (setelah akhirnya si preman disanjung-sanjung dan diberi uang lapak), "berapa dikasihnya?"

Malangnya nasib jadi rakyat kecil, ternyata si jurpar dan si preman memang sudah saling kenal. Malahan waktu si preman pergi si jurpar seolah-olah ngasih wejangan perlapakan. Mengatakan kalau di pasar itu repot urusan uang lapaknya. Beda untuk jurpar beda lagi untuk preman pasar dalam.

Setelah wejangan si jurpar selesai, tiba-tiba muncul lagi seorang berpakaian dinas minta uang ke si penjual. Namun kali ini si penjual mohon bersabar dan si petugas dinas juga tidak memaksa.

"Mungkin saja itu uang kebersihan", pikirku, karena yang dikutip cuma seribuan. Saya beli dagangannya 2 potong, membayarnya lalu pergi.

Jaman sekarang kejahatan sudah terbungkus rapi. Seolah-olah premanisme tidak ada padahal nyata. Mereka sanggup mengisi perutnya dan perut anak istrinya dengan uang haram hasil pemerasan terhadap sesama rakyat jelata. 

Sementara yang berseragam dinas pun terdiam saat praktek kejahatan itu terjadi. Ini membuktikan tak ada lagi kenyamanan rakyat kecil untuk mengais rejeki kecuali dia harus membayar uang lapak berlapis-lapis seperti si penjual itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun