Berangsur-angsur pembeli pergi karena merasa tidak nyaman. Apalagi saat si preman bentak-bentak si penjual sambil menendang barang dagangannya. Si preman memaksanya untuk menutup jualannya. Saat itu si penjual agaknya melawan dengan bilang, "sabarlah bang, jangan ditendang-tendang juga barang dagangan itu. kalo rusak siapa mau beli?"
Rupanya kalimat itu malah membuat si preman makin kasar secara verbal dan melototin si penjual. Mungkin ada kekuatan dahsyat saat dia melotot dengan muka digarang-garangin, ternyata tidak.
Hanya tinggal saya dan satu emak-emak yang kemudian malah makin memanas-manaskan situasi mendesak si penjual membayarkan saja uang lapak itu.
Saya sebenarnya tidak nyaman, malah geram dengan situasi pemerasan seperti itu. Namun logika saya menghalangi untuk mengintervensi apalagi membela si penjual. Alasannya karena kemungkinan mereka adalah kumpulan preman yang sudah terorganisir. Kalo saya intervensi maka jumlah korban akan bertambah jadi dua. Kalo sudah begitu nanti anak istri saya yang khawatir.
Saya juga mengamati sekeliling TKP sambil mandangin sekilas satu persatu orang yang melihat kejadian itu. Dugaan saya beberapa diantara mereka itu siluman preman. Mereka mengamati pergerakan si penjual. Buktinya saat kejadian itu usai karena akhirnya si penjual membujuk si preman dengan meminta maaf, orang2 yang tiba2 muncul tadi dengan si preman juga turut hilang.
Sementara si juru parkir tadi malah bertanya pakai bahasa daerah ke si preman tadi (setelah akhirnya si preman disanjung-sanjung dan diberi uang lapak), "berapa dikasihnya?"
Malangnya nasib jadi rakyat kecil, ternyata si jurpar dan si preman memang sudah saling kenal. Malahan waktu si preman pergi si jurpar seolah-olah ngasih wejangan perlapakan. Mengatakan kalau di pasar itu repot urusan uang lapaknya. Beda untuk jurpar beda lagi untuk preman pasar dalam.
Setelah wejangan si jurpar selesai, tiba-tiba muncul lagi seorang berpakaian dinas minta uang ke si penjual. Namun kali ini si penjual mohon bersabar dan si petugas dinas juga tidak memaksa.
"Mungkin saja itu uang kebersihan", pikirku, karena yang dikutip cuma seribuan. Saya beli dagangannya 2 potong, membayarnya lalu pergi.
Jaman sekarang kejahatan sudah terbungkus rapi. Seolah-olah premanisme tidak ada padahal nyata. Mereka sanggup mengisi perutnya dan perut anak istrinya dengan uang haram hasil pemerasan terhadap sesama rakyat jelata.Â
Sementara yang berseragam dinas pun terdiam saat praktek kejahatan itu terjadi. Ini membuktikan tak ada lagi kenyamanan rakyat kecil untuk mengais rejeki kecuali dia harus membayar uang lapak berlapis-lapis seperti si penjual itu.