Mohon tunggu...
Jeff Sinaga
Jeff Sinaga Mohon Tunggu... Guru - Suka menulis, olahraga dan berpikir

pendidik, ju-jitsan, learn to stay humble and live to give good impact. :-) follow twitter: @Jef7naga

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sebuah Kesederhanaan dari Memanggang

8 Agustus 2017   13:15 Diperbarui: 8 Agustus 2017   13:22 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kenangan itu muncul saat kita diingatkan kembali akan pengalaman yang membawa pikiran melayang untuk bernostalgia. Rasa-rasanya itu sungguh menyenangkan. Saat membayangkannya seolah-olah raga ini seketika menmbus batas untuk kembali hadir dalam momen tersebut. Merasakan kebersamaan dengan orang-orang di dalamnya penuh keceriaan.

Ada gelak tawa, segudang cerita mengiringi suasana itu dan aromanya seakan menambah gairah senyum di wajah. Namun sesaat kemudian aroma itu menghilang disusul gambar demi gambar akan momen itu juga menjauh, hingga tersadar ternyata itu hanya bayangan masa lalu yang hadir sesaat.

Dari sekian banyak tema ngumpul bareng di masa lalu (bahkan hingga kini) yang paling berkesan adalah memanggang. Kami biasa menyebutnya manggang saja, atau manggang-manggang. Sebagian mungkin mengenalnya dengan istilah barbekyu. Suatu kegiatan yang mencurahkan perhatian ekstra dan tenaga ekstra untuk menjaga agar panasnya bara api seimbang agar daging yang dipanggang tidak mentah atau tidak terlalu gosong. Kesan inilah yang menjadi daya tarik tersendiri saat memanggang.

Tak semua orang "jago" dalam memanggang. Karena dibutuhkan perhatian, perkiraan waktu, dan tenaga yang intens. Karena menurutku makanan yang enak itu haruslah dimasak dengan sepenuh hati. Jadi kalau mempersiapkan masakannya kurang dijiwai dan asal jadi, cita rasa makanan itu pun sepertinya berkurang.

 Itulah kenapa dibutuhkan perhatian atau fokus. Karena saat fokus, kecil kemungkinan untuk salah dalam memperkirakan bahan-bahan dalam memanggang. Takaran garam dan rempah yang dibutuhkan harus tepat, juga waktu untuk mendiamkannya bersama daging yang akan dipanggang butuh kesesuaian.

Sebagian orang suka memanggang daging tanpa garam dan rempah. Sebagian lainnya bahkan ada yang merebus dagingnya terlebih dulu baru dipanggang. Kalau aku terbiasa menaburkan garam saja merata disetiap irisan daging lalu didiamkan beberapa saat untuk kemudian dipanggang. Alasannya sederhana, supaya rasa asinnya menyerap ke dalam daging. Tidak terlalu asin, namun terasa lembut saat dimakan.

Orang tuaku paham betul aku suka manggang. Seringkali saat pulkam sudah tersedia beberapa potong daging untuk ku panggang. Sepertinya mereka tak keberatan harus mengeluarkan uang lebih untuk beli daging mengingat hasilnya sepadan karena anaknya si hoby manggang akan pulang.

Bagiku memanggang itu selain fokus, juga butuh persiapan. Mempersiapkan media panggangan seperti batok kelapa, batu bata, alat panggangan dan kipas. Kami tak punya tungku khusus untuk memanggang, makanya batu bata jadi media alternatif.

Menyusun posisi bata juga harus pas, tak melebar atau terlalu rendah atau bahkan terlalu tinggi. Memperhitungkan arah angin juga salah satu kunci agar panas baranya tak melenceng kemana-mana.

Susunan batok kelapa juga harus tepat supaya terbakar menyeluruh dan ketersediaan baranya merata. Jadi saat batoknya dilahap habis hingga menyisakan bara, saat itu prosesn penyebaran bara harus segera dilakukan secara merata di dalam pola bata tempat panggangan akan diletakkan.

Kelebihan memakai batok kelapa adalah saat semua menjadi bara, maka tak perlu repot-repot untuk mengipasnya lagi. Kecuali minyak dari daging tersebut bertaburan banyak melebihi temperatur panasnya bara. Kondisi ini memang memerlukan tenaga ekstra untuk mengipas, menjaga agar bara api tak padam karena semburan minyak daging tadi.

Kondisi seperti itu jarang terjadi karena perhitunganku akan arah mata angin sudah pas. Jarak daging ke bara juga pas tak terlalu dekat. jadi saat minyak dari daging keluar, bara api tetap menyala karena posisi pola tungku bata dengan arah angin sesuai perhitungan. Aku menyebutnya kipas alami.

Jadi tak repot lagi kecuali tinggal bagaimana memperhitungkan waktu terbaik untuk membalik-balikkan tiap potongan daging agar masaknya merata. Aku suka matang menyeluruh. Jadi kegiatan balik-membalik lebih sering dilakukan sampai warnanya kuning keemasan. Sedikit juicy namun tak terlalu juicy.

Sehingga waktu diangkat, lalu diiris sedikit akan terdengar suara renyah dari bagian luar daging yang dipanggang namun lembut saat tergigit daging bagian dalamnya. Sambil diiris, dicocol ke dalam sambal rawit andaliman yang sudah digarami dan disiram perasan jeruk nipis lalu dimakan. Tak lupa juga sedikit nasi putih sebagai penyeimbang rasa di dalam mulut dan perut. Hmmm, suatu hidangan sederhana yang nikmat di kala siang menjemput istirahat makan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun