Sepanjang tahun yang telah lalu pasti setiap kita meninggalkan sesuatu kepada orang lain. Lebih sering adalah meninggalkan kesan lewat perkataan. Dimana saat perkataan itu terucap, maka mustahil untuk ditarik.
Bila perkataan itu mengandung makna baik namun dipandang buruk, maka akan terjadi salah persepsi. Sebaliknya bila perkataan positif diterima dengan baik, bisa menjadi dorongan untuk maju. Sehingga kita harus berhati-hati dalam perkataan.
Karena lontaran kata bisa membekas seperti tusukan paku pada kayu. Akan sangat mudah teringat karena goresannya meninggalkan kesan. Pun biasanya perkataan yang selalu diingat cuma dua hal, kalau tidak yang buruk pasti yang baik.
Kalau itu baik, syukur saja bisa berbunga. Seperti menyiram tanah yang sudah ditumbuhi benih. Mungkin dengan menyiraminya dengan baik akan menghasilkan sesuatu yang baik.
Namun bila itu buruk, bisa saja menjadi duri dalam daging. Terasa begitu perih bila diingat kembali. Apalagi saat mengingatnya juga terbayang sosok pribadi yang melontarkannya.
Itulah sebabnya orang tua selalu memberikan nasehat turun-temurun tentang ini. “Nak, jagalah sopan-santun” Merupakan suatu nasehat umum orang tua. Suatu himbauan yang memiliki makna penting bagi kehidupan.
Karena bila kita lupa untuk menjaga tutur bahasa yang diikuti oleh tingkah laku, maka stigma negatif akan bermunculan. Stigma ini kemudian melekat erat dengan kepribadian. Sehingga mempengaruhi kenyamanan dalam menjalani hidup.
Bukan itu saja, namun juga hubungan tali persaudaraan, pertemanan dan kehidupan sosial akan rentan terganggu. Karena stigma buruk tentang kepribadian yang tidak santun akan berdampak begitu luas. Sehingga kehati-hatian dalam bertutur sapa harus senantiasa dijaga.
Apalagi menyongsong Tahun Baru 2017 ini. Tentu kita tidak ingin terseret dalam ikatan dampak perkataan buruk yang pernah terucap, bukan? Itulah mengapa dalam kebiasaan orang Batak Toba selalu mengadakan acara Partangiangan Tutup Tahun.
Dalam menyambut momen ini maka seluruh anggota keluarga biasanya datang. Meskipun ada yang merantau di ujung dunia pasti diusahakan datang. Sesakral itu hanya demi berkumpul bersama keluarga dalam menutup dan membuka tahun dengan berdoa bersama.
Biasanya sebelum jam 12 akhir tahun – bisa mendekati atau melewati jam 12 – seluruh anggota keluarga berkumpul. Dari yang paling muda hingga paling tua duduk bersila di ruang keluarga. Semua bersiap untuk bernyanyi dan berdoa bersama.
Selesai berdoa, maka dilanjut dengan kebiasaan mandok hata. Secara gamblang diartikan sebagai momen dalam berbicara – curhat - kepada sesama anggota keluarga. Biasanya ini dimulai dari usia termuda hingga tertua.
Tak jarang isak tangis terdengar dalam momen ini. karena sepertinya setiap anggota keluarga yang curhat dalam meminta maaf – dan nasehat – terlalu menghayati momentumnya. Suasana juga berubah menjadi begitu mengharukan.
Selesai acara biasanya ditutup dengan doa kemudia bersalaman atau berpelukan dan menikmati hidangan. Dengan berakhirnya acara maka diharapkan berakhir pula segala kesalahan yang pernah dilakukan. Berbekal nasehat yang diterima biasanya dijadikan sebagai bahan introspeksi diri untuk menjalani tahun yang baru.
Namun, bisa juga ditemui hal sebaliknya. Bukannya memaafkan, malah menimbulkan kekesalan dan sakit hati yang baru. Karena mungkin saat meminta maaf harus menerima banyak sekali ceramah nasehat yang kadang terasa begitu mengintimidasi. Seolah-olah akan dimaafkan bila harus ini dan itu sesuai ceramah yang diterima.
Intimidasi memang sangat tidak menyenangkan. Beberapa orang mungkin akan sangat ekspresif – melawan – bila mendapati dirinya sedang diintimidasi. Sebagian lain akan memendamnya untuk kemudian menyakiti kembali dirinya sendiri. Sebagian kecil lainnya mungkin akan tidak peduli dengan hal itu.
Jelasnya, perkataan sangat mempengaruhi orang lain yang mendengar dan menerimanya. Pilihan untuk mengeluarkan perbendaharaan yang baik dari mulut tergantung kepada diri sendiri. Bila disiplin diri selalu diarahkan kepada hal-hal yang baik, maka baik pulalah perkataan yang keluar.
Namun perkataan yang baik juga tidak selamanya enak didengar. Setiap pribadi yang selalu mau belajar menerima hikmah dari setiap tingkah laku dan perkataan orang lain, akan selalu legowo – lapang dada - untuk menerima yang tidak sedap didengar untuk menjadi pembelajaran diri.
Untuk itu, seperti ada tertulis, “semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.”
Dengan begitu kita tidak lagi menuntut orang lain untuk berubah, melainkan mengubah sendiri persepsi diri terhadap orang lain. Bila semua yang baik sudah terisi dalam pikiran maka semangat untuk memancarkan kebaikan akan berkilau. Sehingga sebenarnya tanpa menuntut maaf pun dengan sendirinya maaf itu sudah terlepas dari hati yang semakin dibebaskan dari ikatan-ikatan dendam yang tidak perlu.
Akhirnya hidup akan terus berlanjut dengan perkataan yang berdampak baik bagi orang lain. Mungkin kita akan lupa, namun kebaikan yang tersirat akan terus bermekaran. Seperti malam ini, seorang mantan siswi saya yang magang di Jepang mengaku bahwa perkataan positif waktu mengajar dulu menginspirasinya hingga sekarang. Bukankah bahagia sesederhana itu? Mari mulai memperkatakan perkataan yang positif, karena pengaruhnya bisa begitu dahsyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H