Mohon tunggu...
Jeff Sinaga
Jeff Sinaga Mohon Tunggu... Guru - Suka menulis, olahraga dan berpikir

pendidik, ju-jitsan, learn to stay humble and live to give good impact. :-) follow twitter: @Jef7naga

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Standarisasi Pasangan Hidup

22 April 2014   04:15 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:22 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“uda, kerja nanti setahun langsung nikah aja, gak usah lama-lama”, seru si bapak lewat telepon. Waktu baru saja wisuda dan baru dapat kerja di salah satu perusahaan. Saya magut-magut aja, sementara dalam hati, seruan itu masih cukup mustahil, lagian umur juga masih terlalu hijau. Pun saya sudah punya standar wanita masa depan itu nantinya, jadi tinggal proses.

Usia muda memang memberikan banyak kesempatan dalam hal memilih teman hidup, bagi mereka yang sudah siap. Namun bagi yang belum, usia tersebut masih sangat produktif untuk mencari uang. Jadi persoalan membangun hubungan pun dikesampingkan. Namun ya itu, pada akhirnya hampir setiap orang akan menyerah dikala usia semakin menua.

Bagi beberapa tipikal orang, memilih pasangan hidup adalah hal yang rumit. Bagi sebagian lagi itu bukanlah apa-apa. Hal itu menjadi rumit tak lain dikarenakan oleh standar pribadi masing-masing yang sudah sejak awal ditanamkan dalam pikiran. Mulai dari bibit, bebet, dan bobot. Pun tak sedikit yang memasukkan unsur SARA kedalam standarnya.

Mungkin ada yang memasang standar harus seiman, berjiwa pemimpin, menyenangkan, lebih muda/tua, lebih rohani, lebih cerdas, cakep, tak harus cantik yang penting serba bisa (bisa masak, nyuci, bisa kerja, bisa banting tulang, bisa dibawa susah, bisa bermusik, bisa menguasai bidang olah raga tertentu, bisa dekat dengan keluarganya dll), lebih kece, dan standar fisik lainnya. Semakin lama tertanam semakin menjadi hal yang teguh (prinsipil) untuk tetap dipertahankan.

Faktor-faktor standarisasi ini bisa jadi adalah pertimbangan setelah melihat ke dalam diri sendiri, keluarga dan masa depan. Setiap orang pastinya punya standar-standar tertentu berkenaan dengan pasangan hidup, supaya nantinya tidak sampai salah pilih. namun tak jarang standar yang ditetapkan tersebut tak sepenuhnya dimiliki oleh setiap orang. Sehingga tak sedikit yang belum ketemu dengan standar orang yang diharapkannya. Apakah standarnya terlalu tinggi...? maybe yes, maybe no. Pun ada yang sudah merasa menurunkan standarnya pun masih merasa belum ada pribadi yang cocok baginya. Apa yang terjadi...? hal yang paling gampang mengetahuinya adalah saat kita mulai terbuka dengan teman-teman terdekat mengenai standar-standar tersebut.

Tidak ada yang salah dengan standar pasangan hidup yang agak tinggi. Asal mau konsisten dalam mengusahakan dan merealisasikannya. Walau sebenarnya penetapan standar pasangan hidup biasanya berbanding lurus dengan kualitas diri sendiri, baik kelebihan maupun kekurangan yang ada.

Jika merasa standar tersebut sudah diturunkan lebih kebawah namun tak juga menemukan yang cocok, maka bisa dicek kembali sebesar apa usaha yang dilakukan untuk mendekatkan “pribadi” yang sesuai standar itu dalam kehidupan nyata. Apakah setelah membuat standar pasangan hidup yang diharapkan membuat diri sendiri menjadi lebih tertutup atau terbuka?

Sebuah keajaiban jika ada yang mengharapkan pribadi yang terbaik datang menghampiri tanpa ada keterbukaan dan usaha dalam membangun hubungan. Bahkan Cinderella pun harus ke pesta dansa raja begitu ada kesempatan, sehingga dia dapat bertemu dengan pangeran pujaannya.

Sebuah nasihat guru mengetik saya waktu sekolah dulu adalah, “walau kamu tau kalau kamu tidak ganteng/cantik, atau kaya asal kamu tau apa yang menjadi kelebihanmu, meski kecil atau tipis maka usahakanlah untuk mengembangkannya, bisa jadi sesuatu yang kecil itu jika dikembangkan akan menarik perhatian orang-orang disekitarmu. Hal itu bisa berupa karaktermu. Mana karakter baik yang bisa kamu kembangkan, kembangkanlah...Tuhan pasti lakukan bagianNya”. Bagi pribadi saya, pertimbangan karakter ini adalah hal yang paling mendasar setelah masalah keimanan. Pun karakter itu saya lihat dari hal-hal yang paling kecil yang mungkin orang lain tak mampu melihatnya.

Pada umumnya mungkin setiap kita menginginkan calon pasangan hidup yang dinamis, enerjik dan semangat, juga mengapresiasi pribadi-pribadi yang terbuka terhadap perubahan, tetap menjadi diri sendiri dan yang mengimprovisasi diri sendiri ke arah yang lebih baik. Jika menginginkan hal-hal tersebut dalam diri pribadi calon pasangan hidup yang diharapkan, maka terlebih dahulu jadilah seperti itu, setidaknya mengusahakannya. Poinnya adalah usahakan yang terbaik. Meskipun mungkin pada akhirnya yang datang tak sesuai yang diharapkan, setidaknya kita sudah melakukan yang terbaik, dan tak ada yang sia-sia dalam usaha itu. Pun pada akhirnya kita akan semakin mengerti bahwa kita ada untuk melengkapi dan menyempurnakan dia yang kita pilih untuk disayangi dan dicintai sampai akhir hayat.

*maaf jika ada kalimat yang tak sesuai kaidah bahasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun