Mohon tunggu...
Jebe Harco
Jebe Harco Mohon Tunggu... pegawai negeri -

saya cinta Indonesia dengan bentuk yang lebih aduhai.. hidup Republik Indonesia Serikat..! long live United States of Indonesia..! Merdekaa!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Papua dan Irian Tetaplah Bernasib Sama

31 Oktober 2011   01:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:16 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Istilah

Sebelumnya, saya lebih suka mendengar istilah Irian dari pada Papua, istilah Irian bermakna bangsa utama (Prof.Koentjaraningrat) istilah ini lebih 'memuliakan' dan bernilai sejarah (Frans Kasiepo dalam Konferensi Malino memperkenalkan istilah ini= bangsa utama, bangsa tinggi, bangsa yang tinggi) dan Presiden Soekarno memberinya perpanjangan tersendiri sebagaimana kita tahu. adapun pilihan untuk menyebut Papua sebenarnya tak salah karena istilah ini merupakan istilah yang akrab di semat kan oleh orang melayu yang berarti pua-pua = pepua,papua (yg berarti 'amat keriting'). hal ini dapat dimaklumi mengingat orang Melayu yang pada umumnya berambut lurus, sebagimana umumnya bagi kita lebih mudah untuk menggunakan perbedaan fisik untuk menunjuk orang daripada 'nilai' orang tersebut. kebetulan dan anugerah Tuhan YME  saudara kita memiliki rambut keriting, sehingga ungkapan ini lebih enak di dengar daripada Irian bagi mereka. (tapi tidak bagi saya..)

akhir-akhir ini, Papua kembali memanas bagi yang memperhatikan dengan seksama permasalahan Papua pasti akan memiliki kesimpulan yang berbeda-beda, tergantung sudut galian perhatiannya.

pendekatan Masalah

sebagai gambaran jika tinjauannya sosiologi, maka masyarakat lah yang di kambing hitamkan, jika pendekatannya administrasi maka mal-administrasi layak di sematkan, jika pendekatannya geografi maka topografi Pulau ini pasti menjadi alasannya, dan jika pendekatannya boleh hukum tata negara, maka saya menyebutnya resiko Kesatuan. karena bagi saya, selalu ada harga untuk sebuah sistem. nah, jika keberadaan Otsus yang merupakan pelipur lara dari 'ketertinggalan'  daerah ini, dan di gadang-gadang mampu memperbaiki ternyata jauh dari harapan..bahkan hanya menjadikan beberapa oknum berpesta menjual 'ketertinggalan' Irian alias Papua.

tulisan ini tidak bermaksud mencerca, apa yang sudah dilakukan pemerintah, tapi yang pasti jika suatu kondisi di identifikasi dengan pendekatan masalah yang salah maka hasilnya pasti akan salah.  kondisi dan pendekatan masalah merupakan suatu hal yang pararel, masalah sosial harus dilakukan dengan pendekatan sosial. masalah budaya harus dengan pendekatan budaya. Contoh, jika para PNS malas maka ini dapat dilakukan dengan pendekatan kultur (budaya) , bagaimana membangun budaya rajin/disiplin?. maka gunakan pendekatan budaya disiplin.  hal ini tidak mudah, karena akan membutuhkan konsistensi. begitu pula dengan masalah Irian atau Papua, jika infrastruktur di anggap biangkerok, maka pendekatan percepatan pembangunan infrastruktur harus segera di realisasikan (bukan di rencanakan belaka).

jika, ada adat yang di budayakan menghambat pembangunan, maka pendekatan budaya perlu di lakukan. misal, beri akses informasi seluas mungkin. lambat laun budaya lain akan mempengaruhi budaya mereka. kadang budaya yang tidak elok, tidak perlu di pertahankan. biarlah adat yang menjerumuskan ke arah kebodohan di hancurkan, bahkan di musnahkan. sermakin kita berbudaya semakin kita manusia, pertanyaannya budaya yang mana yang memanusiakan kita? (INI BUKAN BERARTI SEMUA ADAT SAUDARA KITA TIDAK ELOK)

pendekatan permasalahan di Irian/Papua ternyata serba tanggung dengan kombinasi jenis masalah yang kompleks.. namun secara kasat mata adalah, peran pemerintah daerah dan pusat yang memiliki kepentingan dengan kondisi ini entah kenapa. hal ini di perparah dengan keadaan yang sangat berbeda antara penduduk asli dan pendatang atau antara yang ikut alam dan ikut zaman. bagi yang ikut alam mereka tersiksa melihat hutan mereka tidak lagi ramah, sementara mereka di cap 'tertinggal' sehingga semakin marginal. dan untuk yang ikut zaman mereka terbuka matanya bahwa bumi mereka sangat kaya..dan mereka tak pantas mendapatkan hanya seadanya.

kembali ke masalah pendekatan, jika dulu saya berpendapat bahwa, pola pendekatan yang salah merupakan bentuk pembodohan terstruktur, maka sekarang saya berpendapat bahwa penanganan yang lamban pun merupakan pembodohan terstruktur. dan pembodohan terstruktur lebih parah dari marginalisasi.


mengenai OPM.

ah, sampai kapanpun di negeri ini pasti ada yang tidak puas. tugas pemerintah adalah mencari ketidakpuasan itu, itulah fungsi bestuur (mengatur) yang di sematkan oleh konstitusi. dalam pandangan pribadi saya, permasalahan OPM adalah permasalahan laten, mereka akan menggunakan dalih apapun untuk menggol cita2nya, namun yang perlu kita tekankan adalah buat mereka menghilangkan cita-citanya. tunjukkan bahwa tidak ada alasan untuk cita2 itu ada. dan itu dapat di mulai dengan infrasrtuktur. yang saya heran, mengapa pemerintah begitu enggan 'berinvestasi' untuk mengerem semangat OPM? saya dapat mengerti dengan baik mengapa mereka ingin menjadi perhatian. kuncinya adalah sejahtera, mereka juga ingin seperti saudara mereka di Jawa, Bali dan Jakarta. meskipun yang di Jakarta juga banyak yang lebih menderita, minimal mereka tak perlu ke Jakarta untuk meliat kota metropolitan atau masuk kompleks freeport. ya..keadilan dalam pembangunan.

dan peringatan untuk pemerintah, jika memperlakukan Papua berlebihan, daerah lainpun akan iri.. serba salah khan? inilah resiko kesatuan, harganya mahal resikonya besar. resiko Kesatuan terletak pada pemerintah pusat menjadi 'pemain' bukan wasit. liat lah otsus, bagaimana mekanismenya? berapa jumlahnya? untuk apa? bagaimana pertanggungjawabannya? siapa ya yang bermain?? (kwkwwkwkk,pasti pada tiarap semua!) jika dulu, pendekatan militer, kita tau pendekatan militer identik dengan kekerasan, sekarang pendekatan ekonomi, ternyata malah menimbulkan masalah baru.. mengapa?  tanya mengapa. jawabannya ada di Irian alias Papua sana. bukan di Jakarta atau di Media Massa. bukan dengan dialog tapi aksi nyata, bukan dengan pidato tapi riil tindakan. bukan besok tapi sekarang.

faktanya dari masa ke masa Irian atau Papua tetap bernasib sama seperti nenek moyang mereka.., selalu menjadi objek perhatian, objek masalah dan objek eksploitasi dan enatah objek apalagi..,yang jelas mereka bukan sebagai pelaku atau pemain bagi tanah mereka, bukan pemilik ulayat atas hasil bumi mereka,bukan penikmat kekayaan alam mereka. sampai kapan kondisi ini?? dan apa yang kini mereka dapatkan?? sudahkan pemerintah memperlakukan mereka sebagai manusia merdeka?? sejauh mana perjuangan pemerintah memerdekakan mereka?? haruskh mereka mencari jalan sendiri? alhasil.. kalo begini-begini aja, ya tetep sama.

selamat berjuang bagi rekan-rekan, baik yang menjalankan tugas maupun yang memiliki cita-cita. dunia ini fana, berbuat terbaik bagi negeri kita dan kalian.

dan saya tetap berargumen, bentuk federatif lebih baik dari Kesatuan! bentuk ini lah yang akan lebih menjadikan Indonesia ber-Bhinneka Tunggal Ika, dan lebih Indonesia! masalah Irian/Papua hanya segelintir resiko yang sedang kita hadapi dengan bentuk kesatuan. itupun yang kelihatan. kwwkkwwkwk, yang ga keliatan buanyakkk!!

salam sejahtera, Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun